"Eeeh Sya, daripada ngomel duluan, mending sono samperin ke rumah si Satya, tadi Ibu lewat di sana rame-rame, barangkali pacarmu nikah kali Sya. Doa seorang Ibu kan manjur, baru semalem Ibu nyumpahin kamu yang durhaka ini nggak ada yang mau, siapa tahu pagi ini udah di kabulin."
Tubuhku seketika limbung, nyaris saja aku kehilangan keseimbangan mendengar apa yang di katakan oleh Ibu barusan. Tidak, mana mungkin Satya menikah dengan orang lain. Kami sudah bersama selama 5 tahun semenjak aku selesai pendidikan, Satya adalah seniorku saat magang, berawal dari satu poli dimana aku dan dia bertugas ketertarikan tumbuh di antara kami, sosok Satya yang supel dan mudah bergaul membuatku merasa nyaman dekat dengannya, Satya membawa ke zona luar kehidupanku yang sebelumnya begitu monoton dan hanya berkutat di sekitar Ibu, keluarga, dan bagaimana caranya mencari yang untuk mengisi perut orang rumah, hingga akhirnya hubungan kami berlanjut setelahnya walau aku di tugaskan di tempat yang begitu jauh dari kota ini.
Aku merasa selama ini kami baik-baik saja walau hanya bisa bertemu beberapa bulan sekali, jika tidak aku yang pulang ke kota ini, maka Satya yang akan menghampiriku saat liburnya. Satya bukan hanya sekedar kekasih untukku, namun Satya juga merupakan satu harapan akan bahagia di dalam hidupku yang begitu berat ini, selama ini Satya tahu seberapa berat beban yang aku pikul sebagai sulung di dalam keluarga, dia tidak akan tega meninggalkanku seperti yang di katakan Ibu.
Tidak, dia tidak akan tega meninggalkanku sendirian apalagi di tengah semua masalah yang tengah aku pikul ini.
Sayangnya semakin aku menguatkan diri mengusir pemikiran buruk tersebut, kenyataan pahit akan Satya yang berubah beberapa bulan terakhir ini, di mulai dari dia yang jarang mengabariku atau sekedar membalas pesanku dan tanggapan dinginnya setiap kali bertukar kabar justru membuat tubuhku gemetar karena rasa takut.
Ya, aku takut Satya benar-benar meninggalkanku karena sudah terlalu lama menunggu kata iya atas lamaran yang dia berikan. Aku khawatir Satya bosan menanti keadaan membaik untukku hingga aku bisa menerima pinangannya.
Di tengah kekalutanku akan cintaku yang mungkin saja benar pergi, gelak tawa penuh kepuasan dan sarat ejekan terdengar dari Ibu bak tamparan menyakitkan sama seperti tadi malam.
Laksana seorang yang tidak memiliki hati Ibu mendorong dahiku keras-keras untuk kedua kalinya.
"Sana lihat ke rumah Satya sendiri kalau nggak percaya! Biar kamu lihat pakai mata kepala sendiri akibat durhaka ngelawan orangtua, kalau beneran di tinggal kawin rasain, syukurin. Kalau nggak semoga secepatnya anak durhaka kayak kamu cepet di tinggalin."
.....................................................
"Mas Satya...." Rintihku pelan saat melihat layar ponsel yang menampilkan nama kekasihku tersebut hanya tertulis kata memanggil pertanda jika seseorang di seberang sana tidak mau aku hubungi. "Angkat Mas."
Sayangnya seberapa banyak aku meminta panggilan tersebut tidak kunjung tersambung membuat pandanganku semakin nanar melihat nama seorang yang aku cintai tersebut, dan kini di tengah keputusasaanku menghubunginya aku baru menyadari jika profil Mas Satya yang sebelumnya memperlihatkan potret dirinya tengah mengenakan seragam dinas perawatnya yang berwarna biru gelap khas Rumah Sakit tempat kami bekerja berganti latar kosong.
Menyadari ini seketika aku mencelos.
Tidak, tidak mungkin aku di blokir oleh Mas Satya. Selama seminggu ini aku memang nyaris tidak berkomunikasi dengannya karena dia bilang dia begitu sibuk di rumah sakit sampai akhirnya masalah Arman membuatku lupa segalanya. Bahkan mengabari Mas Satya jika aku pulang saja aku tidak sempat.Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Mas Satya, kamu nggak mungkin sejahat ini kan sampai tega ninggalin aku? Sungguh aku benar-benar tidak sanggup jika satu-satunya orang yang aku jadikan harapan untukku bisa bahagia pada akhirnya juga pergi meninggalkanku.
"Mbak, Mbak nggak apa-apa?"
Mendapatiku sepucat mayat membuat pengemudi ojek online yang mengantarkanku bertanya dengan khawatir, tentu saja tidak ingin terlihat menyedihkan di mata orang yang tidak aku kenal aku buru-buru menggeleng.
"Nggak apa-apa, Mas." Ucapku sembari memalingkan muka, enggan untuk melihat driver ojek online yang seusiaku ini, "nanti turunin saya di depan portal perumahan ya Mas."
Tanpa berkata driver tersebut mengangguk, sepertinya dia pun tahu jika aku dalam mode enggan di ganggu atau sekedar berbasa-basi. Tidak perlu waktu lama, hanya dua menit usai berbicara motor matic yang aku tumpangi ini berhenti di portal perumahan menuju rumah Satya, rumah yang searah dengan jalan menuju rentenir yang sudah menggadai rumah Ibu dan juga membeli motor-motorku dengan murah tersebut.
Usai mengucapkan terimakasih aku melangkah menuju perumahan yang tampak begitu asri tersebut, setiap langkah yang aku ambil terasa berat seakan kakiku sudah tahu jika sesuatu yang ada di depan sana bukanlah sesuatu yang baik untukku.
Beberapa orang yang berpapasan denganku pun melayangkan pandangan heran, di mata mereka mungkin aku terlihat seperti orang gila yang baru saja mengalami penyiksaan, dengan celana kulot hitam dan kaos putih yang kedodoran lengkap tidak ketinggalan dengan beberapa lebam di tanganku yang terbuka dan wajahku yang bibirnya sobek, aku benar-benar menyedihkan. Namun aku sama sekali tidak peduli dengan setiap pandangan menelisik tersebut karena kini di sebuah rumah bercat pastel tersebut pandanganku terkunci pada keramaian yang terasa ganjil saat orang-orang dengan baju rapi mereka layaknya seorang yang hendak kondangan memasuki rumah tersebut.
Seluruh tubuhku terasa gemetar saat kini aku berada di hadapan rumah tersebut, beberapa kali selama aku menjalin hubungan dengan Mas Satya aku sudah mampir di rumah tersebut, sambutan kedua orangtuanya terhadapku sangatlah hangat menerima kehadiranku sebagai kekasih Mas Satya, tapi kali ini aku melihat satu pemandangan yang menyesakkan.
Benar yang di katakan Ibu, di sana, di deretan orang-orang yang bersalaman dengan para tamu yang hendak keluar dari rumah terlihat kekasihku, Mas Satya, yang tengah berdiri bersisian dengan seorang perempuan yang tidak tampak asing di mataku, bukan lagi tidak asing karena sosok itu adalah rekan kerjaku dan Mas Satya di rumah sakit pusat juga. Sosok cantik yang bernama Utami yang di perkenalkan Mas Satya sebagai sahabatnya dari kecil, berdua mereka bak bintang utama dalam acara yang tengah di gelar.
Mataku terasa panas, ingin rasanya aku menangis melihat apa yang ada di hadapanku, dan tepat saat itu juga, pandanganku bertemu dengan mata teduh yang selama ini aku rindukan.Ada keterkejutan di dalam matanya namun segera aku berbalik pergi walau aku masih mendengar bagaimana suara keras Mas Satya saat memanggilku.
"Rasya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...