22

2.3K 368 44
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sekali lagi aku baca pesan yang ingin aku kirimkan pada Arumi. Keputusanku untuk benar-benar tidak memedulikan Ibu dan Arman sudah bulat, aku sudah tidak ingin menjadi sapi perah Ibu dan juga tambang untuk Arman. Sungguh aku tidak rela dunia akhirat jika harus menghidupi Arman belum lagi jika dia yang akan menikah tapi aku yang harus menanggung biaya hidupnya.

Usianya sudah cukup, aku merasa sudah waktunya Arman bisa menggunakan otot dan juga otaknya untuk mandiri.

Tapi terlepas dari segala ketidakpedulian yang aku lakukan pada Ibu dan Arman, aku tidak bisa meninggalkan Arumi begitu saja, berjaga-jaga kemungkinan terburuk aku harus mulai memikirkan biaya kos adik bungsuku jika satu waktu nanti urusan rumah menjadi runyam.

Aku tahu sekali jika Bu Nanik bukan seorang yang berkompromi dengan uang. Beliau dengan mudah meminjamkan uang, tapi bunga yang di jaminkan sangatlah tidak masuk akal.

"Sus, wajahmu babak belur kenapa?"

Di tengah keterpakuanku akan ponsel bututku ini suara dari dokter Niko, dokter sp.PD berparas tampan idola para suster bukan hanya dari Poli Anggrek tempat di mana para orang dewasa di rawat inap, tapi juga Poli lainnya membuatku tersentak, tanpa berpikir panjang sama sekali aku langsung mengirim pesan tersebut pada Arumi dan mendongak menatap salah satu dokter yang merupakan atasanku ini.

"Nggak apa-apa, dok. Cuma kebablasan waktu olahraga adu tinju." Ucapku sembari nyengir, memamerkan deretan gigiku pada beliau yang langsung membuatku mendapatkan toyoran di dahi, tentu saja apa yang di lakukan dokter Niko ini membuat rekanku lainnya tertawa.

"Kalau lebamnya kayak kamu sekarang bukan olahraga tinju, Arasya. Tapi kamu jadi samsak hidup. Wong kita semua yang ada di sini tenaga medis kok bisa-bisanya kamu bohongin."

Wajahku berubah masam merasa di sudutkan dokter Niko tanpa bisa membantah lagi, tapi percayalah aku tidak suka membagi hal buruk yang terjadi padaku ke orang lain. Aku tidak suka mendapatkan tatapan penuh kasihan dari rekan-rekanku yang lain.

Sungguh aku lebih memilih mendapatkan cibiran dari mereka saat aku menjawab tanya mereka tentang keadaanku yang amburadul usai cuti selama tiga hari untuk pulang ke rumah dengan alasan urgent masalah keluarga di bandingkan mendapatkan tatapan kasihan.

Yang tersisa di diriku sekarang hanyalah harga diri yang melekat, dan aku tidak ingin kehilangan hal tersebut untuk sekedar simpati yang tidak akan membantuku dari hal apapun.

"Kalau jadi samsak hidup mati dong dok saya sekarang. Jangan hiperbolis dok, nggak baik!" Candaku berusaha mengalihkan pembicaraan, sayangnya rasa penasaran dokter Niko ini lebih besar karena tetap saja dia kembali bertanya.

"Nggak usah ngeles, bukti lebih kuat dari sekedar alibi! Lukamu menjelaskan lebih banyak hal daripada bibirmu yang suka sekali meyembunyikan kenyataan."

Kembali aku di buat meringis oleh dokter Niko, dan bukan hanya dokter Niko, Suster Riska, kepala perawat bangsal Anggrek yang sejak aku datang pagi ini sudah memberikan tatapan aneh pun sekarang turut nimbrung. Beliau tadi menanyakan hal yang sama dan kuberikan jawaban yang serupa yang membuat beliau kini turut mencecarku.

"Nahkan, bukan cuma dokter kan yang bilang kalau kamu itu lebih kayak korban penganiayaan. Saya juga mikir kayak gitu, dok. Udah sharing aja ke kita sebenarnya apa yang terjadi ke kamu waktu kamu pulang, Sya. Barangkali kami bisa bantuin kamu kalau memang benar ada penganiayaan. Melihat bagaimana keadaanmu sekarang ini kamu sebagai rekan nggak bisa tutup mata......."

Suster Riska meraih tanganku dan menggenggamnya ke dalam tangannya yang hangat, meyakinkanku untuk membagi duka-ku dengan beliau, sosok pengayom dan begitu perhatian kepada kami para Suster anggotanya termasuk aku tanpa terkecuali. Perhatian seperti inilah yang membuatku merasa nyaman di tempat kerja di bandingkan pulang ke rumah yang di sebut Neraka.

Aku menggigit bibirku kuat, kebingungan bagaimana menghindari perbincangan ini tanpa menyinggung Suster Riska dan dokter Niko yang peduli padaku, di tengah kebimbanganku di cecar oleh dua orang atasanku ini mendadak saja sebuah suara datar turut masuk di antara percakapan kami.

"Staf kalian ini di aniaya oleh Ibunya sendiri, dan for your information, dia juga baru saja melakukan percobaan bunuh diri karena di tinggal menikah pacarnya." Mendengar apa yang di katakan oleh dokter Rahma membuat Suster Riska dan juga dokter Niko langsung syok seketika, sementara aku, jangan tanya bagaimana malunya aku sekarang karena perlakuan dokter Rahma, sungguh aku merasa sangat tidak nyaman karena dia yang dengan entengnya menceritakan masalah pribadi seseorang tanpa memedulikan jika itu sama sekali bukan haknya, sekalipun sekarang dokter Rahma memandangku penuh simpati tapi jelas terlihat simpati tersebut tidak sampai ke matanya.

"Ya ampun, benar itu yang terjadi, Sya?"

"Ada masalah apa sama Ibumu kok sampai beliau menganiaya kamu."

Aku membisu sungguh aku sama sekali tidak nyaman masalah pribadi yang ingin aku pendam rapat-rapat justru di ketahui orang. Seburuknya Ibu beliau tetaplah orangtuaku.

Alih-alih menjawab pertanyaan dokter Niko dan juga Suster Riska aku justru menatap dokter Rahma, memandangnya penuh tanya kenapa dokter yang masih sama memukaunya seperti tadi pagi saat bertemu di Stasiun mengumbar masalahku sesuka hatinya, dan itu membuat dokter Rahma justru menyunggingkan senyum mengejek tidak terlihat di wajah cantiknya. Bak seorang malaikat yang baik hati dokter Rahma mengusap bahuku lembut seolah memberiku kekuatan atas hal buruk yang aku alami. "Yang sabar ya, Suster Arasya. Terkadang ada orangtua yang di takdirkan tanpa memiliki kasih sayang kepada anaknya. Saya benar-benar sedih loh waktu Mama Martha cerita gimana tunangan saya harus nolongin kamu, di dunia ini kok ada ya Ibu yang tega jual anaknya senilai 100 juta. Untung kamu ketemunya sama tunangan saya, dia mau bantuin kamu tulus, nggak cuma nolongin kamu dari percobaan bunuh diri tapi juga hutangin duit 100 juta yang bisa kamu cicil entah sampai kapan, coba kalau ketemunya sama Om-om hidung belang, sudah pasti mereka akan manfaatin kamu."

Mataku terasa panas, bahkan kini air mata membuat pandanganku buram, tidak, tidak ada yang salah dari ucapan dokter Rahma, semuanya benar adanya, simpati yang dia berikan kepadaku pun tidak keliru.

Hanya hatiku saja yang keterlaluan karena harus merasakan sakit atas semua kenyataan yang memang benar terjadi. Orang miskin dan tidak berdaya melawan takdir sepertiku sama sekali tidak pantas sakit hati saat semua kebaikan yang aku terima di jabarkan pada dunia.

Bersyukur masih ada yang peduli dan menolongku seperti yang di katakan dokter Rahma, bukannya sakit hati seperti yang aku rasakan sekarang.

Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang