"Syahid?!"
Wajah datar yang sebelumnya memandangku dengan menakutkan tersebut perlahan mengendur, dan dapat aku lihat terselip senyum geli terkulum di wajahnya yang garang, sepertinya Syahid benar-benar senang dapat mengintimidasiku.
Sungguh, kini giliranku yang di buat jengkel olehnya, tidak tahukah Syahid ini jika untuk menyebut namanya tanpa embel-embel 'pak' sebagai bentuk penghormatan adalah hal yang sulit untuk aku lakukan, aku nyaris kehilangan nafas di buatnya, benar-benar satu perjuangan dari seorang yang baru saja terusir dari rumah dan baru saja di tinggal menikah oleh pacarnya.
Astaga, pria satu ini benar-benar bisa mengontrolku, jelas saja bukan sesuatu yang bagus untuk kesehatan jantungku dan juga janji yang sudah aku ucapkan pada Ibunya.
"Kamu tahu Arasya, kita belum memperkenalkan diri secara resmi!" Kembali, alisku terangkat tinggi mendengar ucapan dari Syahid yang kini di barengi dengan tangan kanannya yang terangkat di hadapanku, "bertemu saat melihatmu di pernikahan pacarmu dengan keributan dan juga kamu yang hendak melompat dari jembatan bukan sebuah perkenalan yang indah. Jadi....."
Mata tajam tersebut menatap telapak tangannya yang belum aku sambut, memberikan isyarat untukku menerima ajakannya dan enggan untuk memperpanjang masalah aku meraihnya, satu keputusan yang salah karena tepat saat telapak tangan yang besar tersebut melingkupi tanganku yang begitu kecil di bandingkan tangannya, satu perasaan hangat yang tidak bisa aku deskripsikan mengalir bak sebuah getaran listrik, mengalir dari telapak tangan seorang Syahid menuju tempat tersembunyi yang penuh dengan luka dan duka.
"Arasya Mutia, perawat salah satu rumah sakit swasta di Kota Solo, sulung dari tiga bersaudara, dan baru saja terusir dari rumah. Dan bersyukur, seorang Tentara yang sedang cuti tugas akhirnya menolongku dari bunuh diri yang nyaris saja aku lakukan. Lalu, siapa kamu, perkenalkan dirimu dengan baik, Pak Tentara."
Pandangan geli terlihat dari Syahid mendengarku memperkenalkan diri dan juga perintah yang kini aku berikan padanya. Aku benar-benar takjub dengan perubahan sikap Syahid yang begitu eksrem, sedetik dia bisa menjadi seorang yang mengerikan, namun detik berikutnya seperti sekarang dia justru terlihat begitu manusiawi dengan senyum dan juga tawa tertahannya.
Perkenalanku dengannya benar-benar membuatku lupa jika aku di buang oleh Ibuku dan bahkan aku bisa menjadikan pengkhianatan Satya bak sebuah lelucon yang patut di tertawakan.
"Perkenalkan, Syahid Amarsena. Putra Pandu Amarsena dan Martha Yulianda, seorang Tentara dengan pangkat Letnan Satu yang bertugas di salah satu Batalyon di Solo. Usia 31 tahun, belum pantas di panggil Bapak ataupun Om oleh perempuan yang ada di hadapanku sekarang, dan yang paling penting, status saya single!"
Senyum yang sebelumnya menghiasi bibirku saat menyimak perkenalan yang di lakukan oleh Syahid perlahan memudar saat mendengar status single yang terucap dari pria yang ada di hadapanku.
Sungguh satu kebohongan yang sangat besar di lakukan oleh pria di hadapanku sekarang. Entah apa tujuan Syahid hingga dia berkata kepadaku jika dia single sementara Mamanya jelas-jelas berkata kepadaku tentang pertunangan putranya dengan putri pilihan Nyonya Martha Yulianda.
Aku ingin mencecar kebohongan yang terucap tersebut namun dengan cepat aku menelan kembali kalimat yang sudah ada di ujung lidahku, aku tersadar aku sama sekali tidak memiliki hal untuk menanyakan sesuatu yang bukan urusanku. Relationship Syahid jelas bukan urusanku, ibaratnya seorang pembantu yang terlalu kepo dengan majikan tentu saja itu perbuatan yang lancang dan tidak tahu diri.
Mau Syahid mengaku single bukan hanya kepadaku biarlah itu menjadi urusannya. Mungkin memang itu salah satu watak khas seorang Pria.
Perlahan aku melepas tangannya yang menggenggam tanganku sambil menggelengkan kepala pelan, mengenyahkan segala hal yang sebenarnya ingin aku utarakan.
"Sudah cukup perkenalan konyol ini, Mas Syahid. Orang yang mendengar percakapan kita ini pasti ingin muntah geli mendengarnya."
Suasana akrab yang tercipta beberapa detik lalu dalam sekejap terasa canggung untukku. Bahkan hanya untuk sekedar menatap Syahid pun aku tidak berani, ingatan akan batas yang di peringatkan Ibu Martha membayangiku hingga aku memilih memejamkan mata sembari bersandar pada jendela kereta yang melaju dengan cepat menembus malam yang gelap gulita.
Aku nyaris terlelap saat samar-samar aku mendengar suara lirih Syahid tepat di telinga kala aku berada di ambang batas kesadaran. Terasa begitu nyata, tapi juga seperti awal mimpi yang begitu indah untuk menjadi sebuah kenyataan.
"Bagaimana bisa kamu menganggap perkenalan kita sebagai hal yang konyol Arasya sementara mendengarmu menyebut namaku saja sudah membuatku nyaris gila."
............................................................
"Sudah hampir sampai Stasiun Balapan, Mbak!"
Baru saja aku membuka mata dari tidur lelapku dan berusaha menebak sudah sejauh mana perjalananku kembali ke Kota tempat di mana aku mengais rezeki, suara dari salah satu laki-laki awal 20an yang duduk di hadapanku berucap.
Ada senyuman yang tertahan di wajahnya membuatku bertanya-tanya apa ada yang salah dalam penampilanku sekarang, jangan tanya bagaimana keadaan orang yang baru bangun tidur. Sudah pasti berantakan, mungkin juga tadi aku ngorok, tapi setidaknya masker yang aku gunakan bisa menutupi sebagian besar aibku di hadapan orang asing yang kini semakin senyum-senyum saat melihatku.
Dengan penuh tanya aku memperhatikan tubuhku apa ada yang salah, dan saat tanganku terangkat jaket yang semula ada di pangkuanku terjatuh. Jantungku berdebar kencang saat meraih jaket bomber yang aku kenali sebagai jaket yang di kenakan Syahid, bukan hanya jaket tersebut yang sebelumnya menjadi selimutku, bahkan aku baru menyadari jika kini tidak ada jarak di antara aku dan pria yang tampak dengan memejamkan matanya seakan bunga tidurnya lebih menarik daripada bisik-bisik yang ada di sekelilingnya.
Serusuh itukah saat aku tertidur, akan sangat memalukan jika saat tidur aku justru bersandar padanya, issshhh, kok kesannya aku manfaatin keadaan buat bisa nempel-nempel sama dia. Terlalu banyak kemungkinan memalukan yang sudah terjadi sampai aku tidak sadar aku terlalu larut memperhatikan sosok tampan yang ada di sebelah kananku ini.
Entahlah, melihat bagaimana sempurnanya Syahid bahkan saat tertidur membuatku sedikit iri, mungkin Tuhan sedang bahagia saat menciptakan mahluk sesempurna dirinya. Di luar sana memang banyak pria tampan, termasuk Satya, mantan pacarku, salah satu contohnya, tapi Syahid, pria yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang Letnan Satu Infanteri Angkatan Darat ini mempunyai wibawa yang berbeda.
Sungguh beruntung wanita yang terpilih untuk bersanding dengannya. Walaupun di jodohkan, aku yakin pilihan Ibu Martha untuk putranya bukan wanita sembarangan.
Hemmm seorang dokter kan kata Bu Martha, bisa aku bayangkan betapa serasinya mereka. Di tengah lamunanku mengagumi wajah rupawan seorang Syahid Amarsena, laki-laki tengil seusia Arman di hadapnku kembali mengeluarkan celetukannya di barengi wajah merengut penuh keirian.
"Saya nggak yakin Mbak sama Masnya berdua ini orang asing yang baru kenalan. Masnya terlalu manis ke Mbaknya, yakali Mbak bukan siapa-siapanya tapi mandangnya penuh sayang mana pakai acara lepas jaket buat nyelimutin Mbak. Jiwa lelaki saya memberontak kangen pacar di kampung, Mbak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...