Part 7

2.7K 386 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yuhhuuu, yang punya apk KBM dan Karyakarsa bisa melipir kesana ya, Dear Arasya juga update di sana.
Happy reading semuanya.
Enjooyy

"DI MANA OTAK PINTARMU, NONA!"

Suara keras tersebut menyentakku dengan sangat menakutkan, bukan hanya pria asing yang kini tubuhnya menjadi tempatku mendarat yang memakiku, tapi aku juga baru menyadari jika begitu banyak orang yang mengerumuniku sekarang ini, memandangku penuh tanda tanya tidak sedikit pula mereka yang menghina sembari melontarkan berbagai kalimat komentar melihat bagaimana hancurnya tubuhku yang lebam karena hajaran Ibu.

"Halah, paling mbaknya cuma akting doang mau bunuh diri."

"Caper paling dianya! Atau malah jangan-jangan dia lagi bikin konten?"

"Ya Allah, Mbak nggak apa-apa? Astaghfirullah, sampai Tremor saya saking takutnya."

Di tengah pikiranku yang masih linglung aku merasakan seseorang menarikku untuk bangun, tampak mata Ibu-ibu berhijab seusia Ibuku ini meneliti setiap inchi tubuhku dengan pandangan mata yang berkaca-kaca bersiap untuk menumpahkan tangisnya.

"Jangan ambil jalan pintas kayak gini, Mbak. Mbak bikin saya sedih keinget sama anak saya, Mbak."

Seluruh tubuhku kembali membeku, perhatian dari beberapa orangtua yang menepis ucapan buruk dari mereka yang lebih muda justru membuatku tersayat, mereka yang sama sekali tidak mengenalku justru peduli padaku atas dasar kemanusiaan, lalu orangtuaku sendiri, yang seharusnya mendekapku dari kejamnya dunia justru menjadi orang pertama yang menancapkan luka.

Tidak, bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak ingin di selamatkan, buat apa aku hidup di dunia ini jika orang yang seharusnya menyayangiku justru membuang dan menyiksaku, aku hidup namun ada serasa mati dengan banyak siksaan yang bertubi-tubi aku dapatkan dari orang-orang yang ada di sekelilingku. Sungguh membayangkan harus hidup dengan hutang yang luar biasa banyaknya di luar kemampuanku, dan menerima pengkhianatan dari pria yang kini semakin menghancurkan mentalku, aku benar-benar tidak sanggup untuk menjalani hidup yang kini tampak  begitu suram tanpa ada harapan yang terang di ujungnya.

Satu hal yang ada di pikiranku sekarang merajai kepalaku, aku tidak ingin hidup lagi. Mengabaikan seluruh pandangan orang yang melihatku dengan prihatin, aku memberontak melepaskan diriku dari beberapa orang yang menahanku membuat mereka semakin merasa kewalahan, aku menendang, mencakar, memukul apapun yang bisa aku raih tidak peduli jika apa yang aku lakukan menyakiti orang-orang yang berusaha menolongku.

Aku sama sekali tidak memikirkan hal tersebut, bayang-bayang betapa gelapnya kehidupanku jika aku terus hidup membuatku ketakutan, orang-orang yang menasehatiku sekarang ini untuk bersabar sama sekali tidak merasakan pahitnya apa yang aku lalui, aku yakin jika mereka yang ada di posisiku mungkin mereka akan memilih mati sejak dulu.

Aku terus berusaha meloloskan diri, dinding pembatas jembatan yang hanya berjarak kurang dari satu meter tersebut akan menyelesaikan masalahku untuk selamanya, namun entah siapa siapa yang melakukan saat tiba-tiba saja aku merasakan sebuah hantaman keras di tengkukku membuatku mendadak kehilangan kesadaran, dalam samarnya suara ricuh yang perlahan mengabur aku masih bisa mendengar suara berat yang sebelumnya memakiku berbicara tergesa-gesa sebelum akhirnya kegelapan mendekapku dengan begitu nyaman.

"Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya saya yang akan bertanggung jawab sepenuhnya."

....…......………………………………

"Syahid nggak bisa pulang sekarang, Ma. Ada orang yang mau bunuh diri dan sekarang Syahid yang menjadi walinya."

Rasa pusing menyergap kepalaku, ingin rasanya aku membuka mata namun entah kenapa kelopak mataku terasa begitu berat seolah lelap yang baru saja menyapaku tadi sangat sayang untuk di lewatkan. Aku tidak tahu berapa jam aku pingsan tapi yang jelas itu dalam waktu yang lama karena sekarang aku merasa tubuhku terasa begitu pegal, luka di tubuhku yang sebelumnya tidak aku rasakan kini kembali berdenyut nyeri.

Akhirnya usai berjuang melawan berat yang menghantam kepalaku, perlahan pandanganku terbuka, memperlihatkan langit-langit putih sebuah ruangan dengan bau yang sangat familiar untukku, bau etanol yang sebagian orang membuat pusing karena terlalu menyengat tapi bagiku ini adalah wangi yang menenangkanku karena aku merasa berada di tempat yang aman dan nyaman untukku.

Rumah sakit, tempat kerjaku mengais rezeki yang selama ini aku pakai untuk menyambung hidup yang lebih serasa rumah untukku di bandingkan rumahku yang sebenarnya.

"Ya nggak bisa dong Ma kalau Syahid tinggalin dia sendirian! Kalau dia bunuh diri lagi gimana, Syahid nggak mau dia gentayangan ganggu Syahid!"

Suara berat yang terdengar begitu familiar di telingaku kembali menyapa, suara itulah yang terdengar di telingaku hingga aku terbangun sekarang ini dari lelap yang sebenarnya begitu nyaman.

Dengan berat aku menolehkan kepalaku ke arah sumber suara, ruang rawat yang hanya berisikan satu ranjang dengan dinding kaca di sebelah sisi lainnya membuatku yang baru bangun seketika tercengang tidak percaya.

Demi Tuhan, tanpa sadar aku menelan ludah melewati tenggorokanku yang terasa begitu kering, sebagai salah satu perawat di Assalam Hospital, aku sangat hafal dengan kamar rawat VIP bagi para orang kaya yang menjunjung tinggi privasi, tempat yang bahkan begitu mewah untukku kami pekerja medis yang bekerja di sana, dan sekarang usai aksi bunuh diriku yang gagal, aku di tempatkan di ruang VIP sejenis?

Aaaah, bolehkah aku pingsan lagi dan tidak akan pernah bangun? Membayangkan hutang Ibu saja sudah membuatku ingin mengakhiri hidup, lalu sekarang aksi bunuh diriku yang gagal membuatku harus membayar ruangan rawat fantastis ini?

Kenapa orang-orang yang membawaku tadi tidak pergi ke puskemas atau klinik saja? Kenapa harus ke rumah sakit yang elite ini.

Dan lagi, siapa pula pria yang tadi mengumpatku dan sekarang tengah berdiri menghadap jendela layaknya dia tengah berada di tengah scene drakor, issh apa dia pikir dengan siluet tubuhnya yang tegap dan tinggi yang dibalut sempurna cahaya akan membuatku terpukau dengan penampilannya? Hisss, belum lagi dia yang terus menerus berbicara di dalam telepon tanpa berhenti sampai tidak sadar jika aku sudah bangun dari tadi karena suaranya yang begitu keras menggema di ruangan yang sangat bagus ini.

Andaikan saja tenggorokanku tidak kering hingga terasa begitu kelu mungkin sekarang aku akan menegurnya karena dia sudah begitu lancang membicarakanku yang akan menggentayanginya saat aku mati.

Tidak tahukah pria ini jika menyelematkan hidupku hanyalah sia-sia, aku bahkan sudah enggan menjalani hidup yang penuh dengan derita tidak ada ujungnya.

Kembali mengingat betapa beratnya apa yang harus aku jalani membuat pandanganku menerawang hingga akhirnya kembali aku meneteskan air mata. Selama ini aku selalu kuat menjalani segala tekanan yang di berikan oleh Ibu dan juga keadaan hingga meneteskan air mata adalah hal yang tidak bisa aku lakukan sekalipun aku ingin untuk mengurangi sesak yang aku rasa. Tapi lihatlah sekarang, di ujung rasa putus asa yang aku inginkan hanyalah mengakhiri semuanya namun tidak kunjung bisa yang ada aku justru menangis seperti bayi yang tidak berdaya.

Dalam ketidakberdayaanku kembali aku tersedu-sedu, meratapi nasib dan takdir yang begitu kejam dalam memperlakukanku, sungguh aku benar-benar lelah.

"AHHH, AKHIRNYA KAMU BANGUN JUGA."

Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang