"It's oke kalau masalah uang, yang penting kamu berusaha buat balikin bukan masalah buat saya ataupun Syahid, yang buat saya tadi sempat kaget itu saya kira kamu ada apa-apanya sama si Syahid. Ternyata kamu cuma kerja sama dia, hampir saja kamu saya musuhin, Nak. Soalnya gimana ya, si Syahid udah saya jodohkan sama anak temennya Ibu."
Martha Yulianda, begitu nama Ibu dari Pak Syahid, sosok wanita anggun ini menggenggam tanganku erat saat menunjukkan padaku garis batas jelas antara aku dan keluarga beliau. Sebuah batasan yang membuatku tersadar di mana tempatku berdiri sekarang walau pun aku tengah berhadapan dengan beliau.
Ya, beliau, sebagai Ibu Pak Syahid, dan Pak Syahid sendiri adalah orang yang baik, mereka tidak segan menolong siapapun yang membutuhkan bantuan mereka selama mereka bisa memberikannya, tapi hanya sebatas kebaikan dalam dasar kemanusiaan, ya hanya sebatas itu, tidak lebih. Beliau seolah tahu hati manusia apalagi perempuan adalah sosok yang paling mudah tersentuh oleh perhatian-perhatian sederhana tidak terkecuali diriku.
Beliau mengingatkan secara halus bahwasanya pertolongan yang di berikan Pak Syahid kepadaku hanyalah bentuk kepedulian antar sesama manusia, dan Sudra sepertiku tidak boleh serakah berharap lebih karena sudah ada Tuan Putri yang sepadan dengan Pak Syahid yang sudah di pilih beliau untuk menjadi pendamping Sang Putra pewaris tahta keluarga Amarsena.
Beliau mengingatkanku sebagai bentuk kebaikan untukku agar aku sadar diri. Hal yang sebenarnya tidak perlu beliau lakukan karena sedari awal saat aku menerima pertolongan seorang malaikat seperti Pak Syahid aku pun sudah menyadarinya. Tapi tetap saja, rasanya sangat sakit di ulu hatiku saat orang lain mengingatkan di mana aku berdiri, bukan salahku aku lahir di dalam garis kemiskinan, jika saja aku boleh memilih aku pun enggan hidup serba kekurangan, rasanya sangat melelahkan berpikir bagaimana gaji yang tidak seberapa hanya numpang lewat bahkan tidak mengenyangkan perut yang kelaparan.
Hari itu, di dalam kamar seorang Syahid Amarsena di hadapan Sang Ibunda, kembali aku tertampar oleh kenyataan, memberiku peringatan untukku agar tidak lancang mencintai seorang yang tidak bisa tergapai oleh orang sepertiku.
Senyum manis aku paksakan terukir di bibirku saat aku menatap Bu Martga, tidak perlu tersinggung saat seorang mengingatkan bagaimana rendahnya posisiku karena semua itu adalah kenyataan. "Ibu jangan khawatir, hal seperti itu mustahil terjadi Bu. Jangankan keluarga Ibu yang jelas-jelas berada di kasta Ksatria, seorang Satya Sadikin saja mendepak saya apalagi keluarga Ibu. Di sini saya benar-benar bekerja untuk membayar hutang pada beliau."
Senyuman sarat kepuasan terselip di wajah anggun nan ramah tersebut, sebuah usapan penuh kelembutan khas seorang Ibu mendarat di bahuku, "anak pintar! Ibu suka dengan orang-orang yang cepat tanggap seperti kamu. Jadi Ibu mohon jangan kecewain Ibu ya, Nak. Ibu percaya sama kamu. Jika satu waktu nanti Syahid menyalahartikan simpati yang dia miliki untukmu, Ibu mohon agar kamu ingat pesan Ibu hari ini, understand?"
Semua yang terucap dari bibir Ibu Martha terdengar begitu lembut, halus dan begitu santun, tapi siapapun yang mendengar akan paham bagaimana tajamnya lidah saat bekerja mengeluarkan ancaman pada orang yang di anggap tidak lebih daripada sebuah kuman sepertiku dalam hidup mereka.
Kembali aku hanya mengangguk mengiyakan janji yang aku ukir dalam-dalam di kepalaku untuk sadar diri akan siapa aku ini. Hal yang sungguh bodoh untuk aku lakukan karena soal hati siapa yang tahu dan siapa yang bisa mengatur?
Sama seperti pertemuan ajaibku saat takdir mempertemukanku dengan Pak Syahid, terkadang takdir memang kurang ajar dalam mempermainkan setiap pemerannya. Hal yang mati-matian kita hindari justru itulah yang akan di hadapi.
.....,...,...,..........,...........
"Arasya......" Panggilan di sertai tepukan di lenganku membuatku tersentak dari ingatan akan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu di kamar seorang Syahid Amarsena, tempat di mana aku membuat janji dengan Sang Ibunda dari pria yang ada duduk di sebelahku, ya, di sebelahku karena kini kami berdua dalam perjalanan menuju Kota Solo dengan kereta ekonomi, kota di mana secara kebetulan adalah tempat kami bertugas.
Ya, kebetulan yang terlalu banyak layaknya sebuah kisah dalam sebuah novel drama yang sering kali aku baca untuk mengisi waktu luang. Dan semakin menyempurnakan kisah fantasi yang bergentayangan di dalam otakku adalah siapapun tidak akan menyangka jika Putra salah satu petinggi Militer dengan kekayaan yang membuat orang geleng-geleng kepala bisa berada di kursi ekonomi bersamaku.
"Ya, gimana Pak?!" Tanyaku sambil menoleh ke arahnya, panggilan yang langsung membuat dua orang pria awal 20an yang duduk di hadapan kami sekarang langsung mengernyitkan dahinya heran dan bergantian menatap aku dan Pak Syahid bergantian. Heeeh, memangnya salah aku memanggil orang yang sudah menolongku dengan sebutan demikian? Sungguh, aku baru saja tersadar dari lamunan dan sekarang sudah di suruh untuk berpikir keras.
Dan selain mendapatkan tatapan heran dari dua orang penumpang lainnya ini, kini aku mendapatkan pandangan tidak suka dari Pak Syahid. Wajah datarnya berkali-kali lipat lebih mengerikan sekarang ini saat memandangku hingga menelan ludah pun terasa kelu.
Astaga, aku benar-benar di buat mati kutu saag Pak Syahid mulai berbicara memaku pandangannya tepat ke arah mataku.
"Sebenarnya saya ingin bertanya apa yang Mama saya katakan ke kamu! Tapi please, sekarang saya mau koreksi satu hal ke kamu, Arasya." Untuk kedua kalinya aku di buat menciut saat mendengar nada tegas yang meluncur dari bibir seksi Pak Tentara satu ini, terlihat jelas sekali jika sekarang Pak Syahid tengah dongkol kepadaku, astaga, Pak Syahid, beliau bisa sensi juga masalah panggilan, kirain cuma Embak-embak pelanggan minimarket saja yang bisa sensi perkara di panggil selain Kakak, "Tolong, jangan panggil saya Bapak. Pertama, saya bukan Bapak kamu." Ya, sudah pasti itu, jika Pak Syahid bapakku, sudah pasti beliau akan membiarkanku mati bunuh diri, "kedua, saya belum terlalu tua sampai saya pantas di panggil Bapak sama kamu, antara kamu dan saya hanya berjarak 4 tahun Arasya. Di bandingkan memanggil saya dengan panggilan Bapak, walau saya tahu kamu melakukannya karena kamu menghormati saya, lebih baik panggil saja sekalian nama saya. Jika kamu memanggil saya Bapak, saya seperti seorang Sugar Daddy yang lagi jalan sama Sugar baby-nya."
Selama ini aku selalu mendapatkan intimidasi dari orang-orang yang ada di sekitarku karena mereka menganggap seorang yang lahir dari keluarga yang kekurangan pantas untuk di tindas, dan selama itu pula aku belajar untuk tetap menegakkan kepala tidak ingin di injak-injak oleh mereka semua, tapi Pak Syahid, sosok yang tengah menatapku dengan parasnya yang rupawan berhasil membuatku tidak bisa berkata-kata di bawah tatapannya.
"Sekarang, panggil namaku, Arasya. Syahid! Just Syahid."
Entah sihir apa yang di miliki pria dengan hidung mancungnya ini untukku saat dia memberikan perintah untukku, karena dengan bodohnya semenjak aku bertemu dengannya, segala hal yang dia katakan selalu aku turuti tanpa berpikir panjang, hiruk pikuk kereta ekonomi bahkan di malam hari sekalipun dan juga beberapa pasang mata yang melongok kami keheranan bahkan terlihat buram di mataku menyisakan sosok Ksatria penyelamat hidupku yang ada di hadapanku sekarang. Memandangku lekat membuatku tidak bisa mengalihkan tatapan menungguku untuk memenuhi apa yang di mintanya.
"Syahid?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...