14

2.5K 423 14
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holla, yuk yang punya KBM dan Karyakarsa bisa melipir juga, Dear Arasya on going di sana juga lohHappy reading semuanyaEnjooyy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holla, yuk yang punya KBM dan Karyakarsa bisa melipir juga, Dear Arasya on going di sana juga loh
Happy reading semuanya
Enjooyy

"Saya butuh uang 100 juta, dan secepatnya bawa ke alamat yang saya kirimkan, Pak Wira. Urgent, sekarang juga. Saya tunggu."

Mendengar bagaimana Pak Syahid memerintahkan seseorang di ujung telepon sana membuatku terpaku, sungguh aku sama sekali tidak tahu siapa pria di hadapanku sekarang ini sampai-sampai mendapatkan uang 100 juta terdengar begitu mudah.

Entah mafia, pengusaha, atau malah seorang Tentara bisa juga seorang Polisi, aku tidak tahu dan tidak bisa menebak seorang yang sudah menyelamatkanku bukan hanya dari keputusasaan akan kematian, tapi juga dari Ibu yang kini tengah berkacak pinggang menatap kami berdua, tidak ada sesal sedikitpun di mata Ibu sudah secara tidak langsung menjualku ini.

Tidak ada kekhawatiran di wajah Ibu yang sudah mengusirku, tidak ada tanya dari beliau dari mana aku bisa mengenal Pak Syahid, semua itu bagi Ibu sama sekali tidak penting di bandingkan dengan uang yang akan di dapatkannya.

Bahkan setiap kali Ibu berbicara lima menit sekali Ibu hanya bertanya kapan uang yang di janjikan Pak Syahid akan datang padahal belum ada 15 menit berlalu.

"Anda ini pacarnya Rasya atau Om-om yang nyimpen ini anak nggak berguna?!" Ya Tuhan, tidak bisakah Ibu diam dan berhenti berbicara yang tidak-tidak? Tidak cukupkah Ibu mempermalukan dirinya sendiri dengan sikap beliau hingga harus menuduh Pak Syahid adalah Om-om senang yang menjadikanku simpanan? Serendah itukah aku di mata Ibu? "Royal banget, tapi terserah mau Anda pria hidung belang atau apapun, saya nggak peduli! Asalkan saya dapat uangnya, silahkan bawa anak nggak berguna ini jauh-jauh dari hidup saya!" Tawa girang terdengar dari Ibu yang melewatiku, bahkan beliau sempat-sempatnya menoyor kepalaku dengan entengnya, "Ibu sama nggak nyangka kalau kamu pinter juga nyari cem-ceman, coba yang kamu kenalin ke Ibu kayak gini bukan kayak si Satya yang kere baru di mintai duit seuprit aja udah ngamuk-ngamuk, udah Ibu restuin kamu dari dulu! Dasar nggak punya otak! Sok-sokan suci padahal bener-bener ngelont*"

Bibirku terkatup rapat, menahan emosi yang meledak hebat di dalam dadaku, andaikan saja aku tidak mengingat jika beliau adalah wanita yang melahirkanku, sudah aku pastikan tanganku akan melayang memukul mulut Ibu yang sama sekali tidak beradab, sisa-sisa kesabaran dan juga budiku sebagai anak membuatku menahan semuanya. 

"Sudah puas Bu hancurin hidup Rasya? Jika sudah puas, selamat ya Bu. Bersamaan dengan Ibu yang menerima uang dari Pak Syahid, saat itu juga Ibu sudah kehilangan Rasya sebagai anak. Mulai detik ini seperti yang di bilang Pak Syahid, antara Ibu dan Rasya tidak ada hubungan apapun, uang 100 juta yang Ibu dapatkan adalah pengganti Rasya. Jika satu waktu nanti Ibu tidak punya uang untuk sekedar makan atau bahkan sakit sekalipun itu bukan urusan Rasya dan jangan pernah menemui Rasya. Rasya putri sulung Ibu sudah mati di tangan Ibu sendiri."

Kutatap Ibu penuh tekad, menghilangkan segala kasih dan sayang yang selama ini aku miliki namun beliau sia-siakan. Aku berjuang memberikan seluruh duniaku pada Ibu yang di sebut sebagai Surga bagi para anak-anaknya, namun surga yang aku kejar hanya duka yang tidak ada habisnya.

Arasya yang menyayangi Ibunya dengan penuh keagungan kini benar-benar mati tertukar dengan uang 100 juta yang aku yakini akan habis tidak lama lagi dan saat itu terjadi aku ingin lihat bagaimana hidup Ibu tanpa ada aku yang selama ini selalu beliau sia-siakan.

"Bagus jika memang kamu mati sekalian! Setidaknya sebelum mati kamu membawa keuntungan untuk saya." Sampai akhir pun kasih itu tidak terlihat, balasan yang terucap untukku pun sangat menyakitkan walau kini aku tepis semua perasaan sesak tersebut dengan tatapan berani yang selama ini tidak pernah aku miliki. "Jangan khawatir juga Sya, sama seperti Ibu yang nggak peduli Ayahmu minggat, ke kamu pun Ibu juga akan melakukan hal yang sama. Jadi silahkan, ambil semua rongsokanmu yang mengotori rumahku dan pergi sejauh mungkin setelah uangnya datang. Jangan ganggu kesenangan Ibu lagi dengan hadirmu yang nggak berguna!"

Tidak perlu di perintah dua kali aku beranjak dari tempatku berdiri, memasuki rumah sederhana yang sudah menjadi tempat tinggalku selama 27 tahun ini. Rumah yang begitu banyak kenangan indah, namun juga menjadi saksi betapa banyak luka dan duka yang aku lalui setiap harinya. Aku pernah merasakan betapa indahnya di sayangi Ibu, tapi saat akhirnya sosok Ayah yang menjadi pusat kebahagiaan Ibu pada akhirnya pergi meninggalkan beliau, nerakalah yang aku rasakan setiap harinya.

Dan hari ini, sosok Pak Syahid menolongku dengan uang yang begitu besar jumlahnya, entah bagaimana aku akan membayar atau imbalan apa yang akan di minta Pak Syahid, semua itu menjadi tidak penting bagiku karena nyatanya di rumah ini pun aku hancur berkeping-keping.

Tidak, aku juga berhak bahagia, dan Ibu tidak boleh menghancurkanku lagi.

Menahan sesak yang aku rasakan saat melihat kamar usang yang kini di tempati oleh Arum aku hanya bisa menatapnya dengan nanar, tidak pernah aku bayangkan jika pada akhirnya aku akan terusir dari rumah ini sebagai seorang budak.

Satu hal yang mengganjal di benakku untuk pergi dari rumah ini adalah Arum, adik bungsuku yang masih mengenyam pendidikan sekolah menengah atas, dengan semua sifat tamak dan pemalas Ibu serta Arman yang begajulan hingga membawa bencana ini aku khawatir dengan nasib adik bungsuku tersebut.

Mungkin di masalalu aku pernah berbuat kesalahan yang begitu fatal sampai-sampai hidupku begitu berat seperti sekarang.

"Bereskan semua keperluanmu, dan pastikan tidak ada lagi barang-barangmu yang ada di rumah ini! Ibumu itu benar-benar keterlaluan."

Suara ketus yang terdengar dari belakang tubuhku membuatku terlonjak kaget, tidak menduga jika Pak Syahid akan menyusulku sampai di kamar lusuh ini walau dia hanya berdiri di depan pintu.

Melihatku yang termangu menatap kamar yang kini tampak lebih kosong usai aku mengemas pakaian dan surat-surat berharga yang aku miliki dalam sebuah ransel, membuat Pak Syahid mencebik tidak suka, sungguh ekspresi yang menggemaskan untuk pria dewasa sepertinya.

Ehhhhh.

"Buat apa lihatin lama-lama bagian rumah yang rasanya seperti neraka ini! Saya yang bukan siapa-siapa saja sakit hati dengar semua sumpah serapah Ibumu."

Mendengar bagaimana sarkasnya Pak Syahid aku hanya tersenyum kecil, miris dan sedih karena memang benar yang beliau katakan. Enggan untuk memperlihatkan mataku yang berkaca-kaca pada Pak Syahid aku memilih untuk menuliskan sebuah note pada adik bungsuku, hati kecilku tidak tenang membiarkan adikku harus hidup dengan Ibu dan Arman.

"Rumah ini pernah terasa hangat untuk saya sebelum akhirnya menjadi neraka yang membakar saya sampai habis tidak bersisa."

Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang