"Rasya!!!!"
"Mas Satya, mau kemana kamu, Mas."
"Satya, bocah gemblung! Mau kemana kamu!"
Kakiku bergerak begitu cepat, meninggalkan kerumunan orang-orang yang keluar dari rumah keluarga Mas Satya, beberapa orang tanpa sengaja tertabrak olehku, dan tidak terhitung berapa banyak orang yang menatapku dengan pandangan aneh, apalagi saat aku mendengar langkah kaki yang bergerak mengejarku di susul pekikan dari Utami dan juga Tante Dewi yang melarang Mas Satya untuk pergi.
Namun seberapa cepat pun aku berlari ternyata aku kalah cepat dengan Mas Satya yang kini menahan lenganku dengan erat membuatku terpaksa menatapnya yang kini memandangku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan, campuran rasa bersalah, marah, cemas dan kebingungan. Sungguh hal ini membuatku sangat muak.
"Aku bisa jelasin semuanya, Sya!"
Dengan keras aku menyentak tangan besar pria berkacamata tersebut, beberapa hari ini hatiku luar biasa terluka karena ulah Ibu dan juga Arman, lalu sekarang pria yang aku harap adalah sekelumit bahagia di tengah tandusnya asa yang aku rasa, menghancurkan harap yang begitu kecil tersebut.
"Mau jelasin apa? Jelasin kalau kamu sekarang sudah menikah perempuan yang selalu kamu sebut sebagai sahabat dari kecil? Iya? Sahabat apaan? Sahabat di tempat tidur?"
Wajah memelas yang terlihat beberapa saat lalu seketika berubah mendengar kalimat sarkas yang baru saja aku ucapkan, jika biasanya melihat wajah Satya yang terlihat jengkel adalah hal yang sangat aku hindari maka sekarang aku justru memandangnya penuh tantangan, dia berani melukaiku, lantas kenapa aku tidak boleh membalasnya.
"Tolong jangan berteriak seperti ini di acara ngunduh mantu keluargaku, Sya. Kamu buat aku malu! Jaga ucapanmu." Ucapan dari Satya barusan membuatku terperangah, di antara berjuta kata-kata yang ada di dunia ini kenapa dia justru berucap seolah aku datang dan mengacau di dalam acaranya sementara di sini aku sama sekali tidak membuat masalah, dia sendiri yang mengejarku saat aku pergi lalu sekarang dia justru membuatku seakan aku yang bersalah.
Astaga demi Tuhan, kenapa aku baru sadar betapa manipulatifnya kekasihku ini. Sungguh aku seperti tidak mengenali Mas Satya yang ada di hadapanku sekarang, tatapan matanya menusukku seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar.
Rupanya menjadi suami seorang Utami membuatku berhadapan dengan Satya Sadikin yang berbeda, atau memang seperti inilah Satya yang sebenarnya, yang kasar, jahat, dan bermulut rombeng.
"Sikapmu seperti inilah yang membuatku muak denganmu, Rasya. Bertahun-tahun aku bertahan dengan perempuan keras sepertimu, bertahun-tahun aku sabar menghadapimu, tadinya aku mau meminta maaf karena sudah menikah tanpa memutuskan hubungan denganmu terlebih dahulu tapi melihat bagaimana kamu hadir di rumahku dengan sikap yang sangat tidak tahu malu seperti ini membuatku sama sekali tidak menyesal sudah memilih Utami di bandingkan denganmu!"
Aku hanya bisa menggeleng pelan, tidak percaya dengan sederetan kalimat menyakitkan yang di ucapkan Mas Satya kepadaku. Sedari tadi aku hanya diam, dan Mas Satya memperlakukanku seperti aku baru saja mengacau di rumah dan acaranya. Tidak cukupkah dia melukaiku dengan pengkhianatan dan pernikahannya di saat dia belum memutuskan hubungan denganku hingga sekarang dia harus menghancurkan mentalku yang sudah remuk.
Air mataku mengalir deras, rasanya sakit sekali di perlakukan seperti ini oleh seorang yang sangat aku cintai, sebelumnya banyak bahagia dan tawa yang mewarnai perjalanan kisah kami lalu sekarang Mas Satya memperlakukanku seolah aku adalah seorang penghancur yang membuatnya begitu jijik.
"Aku salah apa sama kamu Mas Satya sampai kamu tega lakuin ini ke aku, haah?"
Dengan kasar aku mengusap air mataku, sungguh aku benar-benar benci pada diriku sendiri yang harus meneteskan air mataku untuk seorang pengkhianat sepertinya, kenapa juga aku tidak menjadi wanita kuat seperti yang aku baca di wattpad? Kenapa aku justru mematung layaknya anak kecil yang cengeng?
Dan melihatku menangis seperti ini membuat Mas Satya yang ada di hadapanku menggerung kesal penuh frustrasi sebelum dia menunjukku penuh dengan kebencian.
"Kamu, Ibumu, dan seluruh keluargamu, bahkan hadirmu di hadapanku sekarang adalah kesalahan besar, Arasya! Aku membencimu yang membuatku menunggu bertahun-tahun, aku bosan mendengarmu terus berkeluh kesah mengenai keluarga parasitmu, aku benci dengan Ibumu yang tidak tahu malu datang ke rumah ini dan merongrong keluargaku meminta uang, tidak sekali dua kali Ibumu datang dan berbuat ulah dengan tujuan yang! Aku benar-benar muak dengan semua hal itu, Sya! Ibumu benar-benar manusia paling menjiji......."
Plaaaak, tanpa aku bisa mencegah tanganku sudah terangkat menampar wajah suami dari Utami dengan keras. Aku benar-benar tidak peduli Satya mau menghinaku seperti apapun karena aku sadar aku begitu banyak kelemahan, aku pun tidak bisa bisa menyalahkan Satya karena Ibu benar-benar keterlaluan, tapi haruskah Satya berucap sedemikian kasarnya terhadap Ibu? Walau bagaimanapun Ibu adalah orang yang lebih tua.
Dengan pandangan nanar dia menatapku yang berani menamparnya dan kemarahan itu semakin berkobar besar.
"Iya, Ibuku menjijikkan! Tapi kamu juga sama menjijikkannya, Tya!" Huuuh, tidak sudi rasanya aku memanggilnya Mas lagi seperti yang pernah dia pinta padaku dahulu, "katakan jodoh memang di tangan Tuhan, tapi apa kamu lupa jika Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk berkhianat dan berbohong? Apa susahnya memutuskanku lebih dahulu baru menikah dengan orang lain! Aku kira berbulan-bulan kamu berubah karena sibuk dengan pekerjaanmu tapi ternyata kamu sibuk menyiapkan Pernikahanmu. Dan sekarang, bahkan aku tidak berucap sepatah kata pun tapi kamu berucap seolah aku datang mengamuk di acara sialanmu ini! Katakan! Siapa yang lebih menjijikkan, kamu dan Ibuku sama buruknya hanya cara kalian yang berbeda."
Untuk terakhir kalinya aku mengusap air mataku, sungguh wajahku yang lebam benar-benar perih karena air mata sialan dan juga panasnya matahari, tepat saat Utami datang menghampiri suaminya. Melihat bagaimana Utami menelisik dengan khawatir wajah suaminya yang baru saja aku tampar membuatku hanya tersenyum sinis menyembunyikan hatiku yang remuk berkeping-keping. "Mas Satya, nggak apa-apa kamu, Mas! Udah Tami bilang jangan pergi."
Benar-benar menyedihkan hidupku ini di kelilingi orang-orang yang hanya menipuku.
Dari wajah suaminya sekarang Tami yang melihatku dengan pandangan murka, wajah polos dan bersahabat yang selama ini di perlihatkan kepadaku lenyap, berganti dengan ketidaksukaan yang sama sekali tidak bisa dia sembunyikan.
Ahhh, bukan hanya Satya yang baru aku tahu wajah aslinya, wajah asli seorang Tami pun terlihat di depanku dan itu sukses membuatku tertawa di tengah tangis miris kesakitan.
"Ngapain kamu tampar suamiku?! Nggak terima kamu hah Mas Satya lebih milih aku di bandingkan kamu dan keluarga benalumu?! Tolong biarin kami bahagia, Sya. Jangan ganggu kami seperti ini. Jangan mengemis simpati dari suamiku dengan penampilanmu yang babak belur."
Tanpa banyak berucap apapun aku lebih memilih mundur, tapi pandanganku sama sekali tidak teralihkan dari wajah-wajah orang yang sudah mengkhianatiku ini. "Jika kalian berharap bisa bahagia di atas sebuah luka pengkhianatan maka kamu tidak akan pernah mendapatkan bahagia itu, Tam. Lima tahun kami bersama dan dia bisa mengkhianatiku begitu saja, bukan tidak mungkin pria yang sekarang kamu ikat erat itu akan melakukan hal yang sama terhadapmu, jika benar dia mencintaimu mana mungkin seumur hidup kalian hanya berstatus sahabat, sungguh menggelikan, dari sekian banyak kisah manis sahabat jadi pasangan, kalian tidak termasuk di dalamnya."
Kupandangi orang-orang yang ada di sekelilingku, baik orangtua Satya maupun orangtua Utami yang melihatku dengan geram, beberapa tamu yang tidak tahu menahu kisah dua pengantin ini pun melihatku dengan pandangan heran, sampai akhirnya walau bibirku terasa kaku aku mengulas senyum penuh permintaan maaf pada mereka.
"Maafkan saya, Om, Tante, bukan maksud saya untuk datang dan mengacau di rumah keluarga Pak Sadikin . Bahkan saya tidak tahu ada acara ngunduh mantu di sini. Sekali lagi, maaf sudah mengganggu kenyamanannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...