"Bagus ya minggat dari rumah pulang-pulang di anterin laki-laki nggak jelas!"
Tidak ada tanya kekhawatiran dari Ibu saat melihatku berdiri mematung di depan rumah padahal sedari kemarin aku pergi aku baru kembali pulang siang ini.
Sungguh rasa perih di dadaku terasa menyakitkan, walau selama ini aku sudah mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari Ibu, nyatanya aku tidak pernah terbiasa dengan rasa sakitnya yang terasa menyayat.
Dengan tenang Ibu mengumpatku tanpa merasa bersalah sama sekali tanpa beliau tahu jika aku hampir saja meregang nyawa karena bunuh diri. Mendadak saja usai di sadarkan oleh Pria bernama Syahid jika hidup begitu berhara kembali aku menyesali kenapa aku tidak mati saja kemarin terseret arus sungai yang deras, rasanya itu lebih baik daripada harus hidup dan menjadi bulan-bulanan emosi dan kebencian Ibu.
Terlalu lelah dengan sikap Ibu membuatku hanya berdiri seperti patung yang bodoh bahkan hanya sekedar untuk menjawab umpatan Ibu pun aku sudah tidak sanggup lagi.
Di tengah sikapku yang lebih seperti orang linglung kehilangan arah, aku merasa bahuku di sentuh perlahan, dan saat itu aku baru menyadari jika Pak Syahid, pria yang sudah menolongku dari percobaan bunuh diri ini tidak pergi seperti yang aku minta.
Dia justru berdiri di sampingku dan menatap tajam pada Ibu yang sekarang berkacak pinggang padanya. Aaah, aku benar-benar ingin mengutuk pria asing yang terlalu ikut campur dalam urusanku ini, tidak tahukah dia jika sikapnya ini akan semakin membuat Ibuku marah? Bukan tidak mungkin jika Ibu akan menghajarku atau menghujaniku dengan banyak caci maki kalau sampai Pak Syahid dengan segala kalimat pedasnya yang menohok sampai menyinggung Ibu.
"Bisa masuk ke dalam dulu, Bu? Kalau Ibu mau tahu, anak Ibu baru saja keluar dari rumah sakit, Ibu lihat kan di tangannya masih ada plester untuk menutup jarum infus?" Tunjuk Pak Syahid pada pergelangan tanganku, secara tidak langsung beliau ingin memberitahukan pada Ibu apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Benar-benar hal yang sia-sia sebenarnya yang di lakukan Pak Syahid karena Ibuku tidak akan peduli sekalipun aku tergeletak mati di hadapan beliau. Benar saja dugaanku alih-alih bertanya kenapa aku sampai masuk ke rumah sakit dan bagaimana keadaanku sekarang, yang ada Ibu justru tertawa terbahak-bahak, benar-benar tertawa senang dengan mulut terbuka lebar, sungguh sikap Ibu ini sama sekali tidak seperti seorang yang sudah berusia 50 tahun. Ibu lebih seperti seorang remaja yang bahagia luar biasa mendapati kabar jika musuhnya di sekolah tengah sakit parah.
"Hahahaha. Syukurin! Jadi beneran di tinggal nikah sama Pacarmu yang kamu bangga-banggakan itu, hahahaha, makanya jadi anak jangan kualat kamu, Sya. Kena tulahnya kan kamu! Malamnya Ibu doain kamu paginya langsung di hijabah! Lihat sendiri kan bagaimana manjurnya doa seorang Ibu!"
Aku tahu ada pepatah yang mengatakan surga seorang anak ada pada Ibunya, tapi apakah surga begitu kejamnya pada kita hingga luka di hati kita pun berubah menjadi lelucon bagi beliau? Tidak malukah Ibu menertawakanku sedemikian rupa saat melihat hati anaknya hancur berkeping-keping? Aaah tidak, Ibu mana mungkin merasa bersalah mendapatiku semenderita ini karena nyatanya alasan terbesar yang membuat hubunganku dan Satya berakhir adalah Ibuku yang mata duitan ini sangat tidak tahu malu.
Kedua tanganku terkepal, kemarahan menggelegak di dalam dadaku. Selama ini aku sudah mati-matian jungkir balik bekerja hanya untuk memenuhi segala permintaan Ibu yang sangat tidak masuk di akalku sebagai wujud bakti seorang anak kepada Ibunya, tapi ternyata semua itu tidak cukup bagi beliau sampai-sampai beliau harus menodong Satya yang notabene bukan siapa-siapa beliau.
Aku marah pada Satya yang sudah dengan tega mengkhianatiku, tapi aku berjuta kali lebih marah pada Ibu yang lagi-lagi menghancurkanku tanpa merasa bersalah sedikitpun. Tidak adakah sedikit iba di hati Ibu melihat bagaimana keadaanku sekarang yang sudah nyaris seperti orang gila?
"Puas Bu ketawanya? Bahagia Bu lihat Rasya di buang begitu saja oleh orang yang Rasya cintai? Dan itu gara-gara Ibu yang nggak tahu malu sama sekali buat minta-minta uang ke orang yang bukan siapa-siapa! Ibu tahu, Ibu sudah benar-benar sukses buat hancurin hidup Rasya."
Kekeh tawa Ibu lenyap seketika mendengar bagaimana aku sekarang berani melawan beliau, namun sedetik berikutnya tawa tersebut kembali lagi dan semakin kencang, bahkan Ibu sampai terbungkuk-bungkuk karena tawanya yang begitu keras menertawakan setiap hal buruk yang terjadi padaku karena ulah beliau.
"HAHAHAHA. Jadi si Kere itu ngadu sama kamu! Dasar mental kere, baru di mintai duit seuprit aja udah kena mental duluan, kayak gitu kok berani mau jadi menantuku! Haah, harusnya kamu berterimakasih sudah putus dari laki-laki kere kayak dia. Ternyata tulah Ibu ada untungnya buat kamu!"
Kejam, kata-kata itu saja tidak cukup menggambarkan Ibuku yang tengah mencibir Satya, astaga, aku sempat berharap bahwa apa yang dikatakan Satya adalah bualan pria itu untuk membenarkan perselingkuhannya dengan Utami, tapi dengan hati riang tanpa merasa bersalah sedikit pun Ibu justru mengakui semua hal memalukan tersebut.
Dosa apa aku ya Allah sampai-sampai Ibu setega ini terhadapku. Tidak hanya sampai berhenti di sana Ibu menyakitiku, karena sepertinya sebelum aku hancur hingga terseret ajal Ibu bertekad akan meremuk hatiku.
"Ahhhh, jangan-jangan katanya kamu masuk ke rumah sakit gara-gara sakit patah hati di tinggal sama si Kere itu kawin! Ya Allah, Sya! Nanggung amat kenapa cuma masuk rumah sakit doang, aturannya masuk ruang mayat sekalian biar Ibu bisa cairin asuransimu, kalau gitu kan biar Ibu nggak capek-capek mikir bayar hutang! Dasar anak nggak ada gunanya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...