Part 21

2.3K 378 17
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dear Arasya sudah bisa kalian baca full part on playbook Karyakarsa atau KBM ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dear Arasya sudah bisa kalian baca full part on playbook Karyakarsa atau KBM ya.
Link pembelian ebook ada di beranda wattpad.
Happy reading semuanya
Enjooyy

A
Part 21

"Abang kok nggak bilang-bilang ke Rahma kalau balik subuh begini."

Dia, wanita cantik yang kini menggandeng tangan Mas Syahid bukan orang yang asing untukku, bahkan aku sangat mengenalnya, di antara banyaknya kebetulan yang ada di dunia ini aku tidak akan pernah menyangka jika pria yang sudah membuatku berhutang budi adalah tunangan dari dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama di tempatku bertugas.

Yahh, terlalu larut dalam perlakuan nyaman seorang Syahid Amarsena membuatku sempat melupakan satu fakta jika pria yang berkata bahwa dia seorang single sebenarnya telah di jodohkan dengan wanita pilihan keluarganya.

Tapi tetap saja kenyataan jika dokter yang di maksud Ibu Martha adalah seorang dokter anak bernama Rahma Anjani mengejutkanku.

"Dokter Rahma." Sapaku padanya yang sama sekali di acuhkan oleh dokter Rahma bak angin lalu, entah terlalu lirih hingga tidak mendengarku menyapanya atau memang sengaja dokter Rahma tidak menjawab tanyaku. Mendadak saja perasaan tidak nyaman menjalariku, aku merasa dokter Rahma terganggu dengan hadirku dan itu membuatku merasa buruk.

Aaahhh, bagaimana ya aku menjelaskan dokter Rahma ini, sulit untuk mendeskripsikan bagaimana dirinya di mataku, karena dunia selalu memandang dokter Rahma sebagai sosok yang sempurna, sosok seorang dokter anak dengan paras menawan, ramah, supel, dan baik kepada rekan sesama tim medis maupun pasien, jangan lupakan juga dengan bibit, bebet, bobot dokter idola ini yang aku dengar berasal dari keluarga medis yang mentereng di Ibukota, ibarat kata dokter Rahma adalah simbol sempurna seorang dokter idaman untuk menjadi menantu para orangtua yang mempunyai anak bujangan.

Dan sekarang melihat bagaimana dokter Rahma bersanding dengan Mas Syahid aku bisa melihat betapa serasinya mereka berdua, persis seperti yang di katakan oleh Ibu Martha. Bukan hanya serasi secara fisik, tapi mereka serasi dalam hal pekerjaan, satunya dokter anak yang terkenal, dan satunya seorang Perwira, di tambah dengan mereka yang datang dari kasta yang sama, tidak bisa terelakan betapa sempurnanya mereka sebagai pasangan.

Kini aku mengerti kenapa Bu Martha memperingatkanku untuk tidak baper atas sikap baik Mas Syahid, karena sudah sangat jelas, untuk menjadi lebih dari seorang yang sekedar mendapatkan simpati, aku sangatlah tidak pantas. Tidak ada yang bisa aku banggakan di dalam diriku ini.

Layaknya seorang yang berada di situasi yang salah, aku hanya bisa terdiam menatap dokter Rahma yang tengah merajuk pada Mas Syahid, ingin aku menyapa dokter Rahma, tapi aku tidak yakin beliau mengenaliku sekali pun kami berada di rumah sakit yang sama. Sudah aku bilang kan, walau menghirup dan memijak bumi yang sama, antara aku dengan orang-orang seperti Mas Syahid atau dokter Rahma berada di tempat yang begitu berbeda.

"Buat apa ngasih tahu kamu, Ma. Aku nggak suka ngerepotin orang lain."

Suara ketus dari Mas Syahid yang berusaha melepaskan tangannya dari gandengan dokter Rahma membuat dokter cantik tersebut mencibir, tersirat kekesalan di wajah cantiknya mendengar bagaimana kehadirannya seolah tidak di inginkan, apalagi ada aku yang jelas-jelas mendengar perbincangan mereka.

Bukan maksudku ingin menjadi pengganggu dengan berdiri di antara mereka, tapi aku tengah menunggu ojol yang aku pesan hingga membuatku terpaksa masih berdiri di tempatku bak nyamuk pengganggu, sungguh, aku benar-benar berusaha membuat diriku tidak terlihat untuk dua orang yang tengah berbicara ini, bahkan aku sampai menulikan telingaku seakan aku tidak mendengar bagaimana ketusnya Mas Syahid yang bisa saja membuat dokter Rahma malu, karena sebenarnya aku pun juga kaget dengan reaksi Mas Syahid. Berbicara denganku saja dia sudah ketus dan sarkas, namun sekarang semua kalimatnya yang terdengar tidak menyenangkan tersebut terbalut dengan aura dingin yang menunjukkan jika dia enggan terusik.

"Tapi aku kan bukan orang lain buat Abang. Rahma ini tunangan Abang loh!" Sedikit penekanan terdengar di kata tunangan terucap dari bibir dokter Rahma, seakan dia ingin menegaskan posisinya dengan lebih tegas. "Jadi udah kewajiban Rahma buat urusin Abang. Ya udah, ayok aku anterin balik ke asrama."

Sepelan mungkin aku beringsut menjauh, memberi jarak pada pasangan yang hendak pergi ini, aku tidak ingin dokter Rahma semakin merasa terganggu dengan hadirku, jangan sampai aku di kira mau nebeng mereka. 

Sayangnya sekeras mungkin aku membuat diriku tidak terlihat, dan menjauh dari mereka, Mas Syahid justru meraih bahuku dan memaksaku untuk kembali berhadapan dengan mereka.

"Mau kemana kamu, Sya!" Busyeeet, Mas Syahid ini sepertinya mau cari mati. Bagaimana tidak, bukannya menjawab ajakan dari tunangannya yang kini sudah bersedekap tidak suka sekalipun dokter Rahma tampak berusaha keras menyunggingkan senyum pengertian saat menatapku, dan itu membuatku semakin merasa bak pemain antagonis yang mengganggu jalannya cerita indah mereka berdua, "Ayo, saya anterin sekalian ke Kos."

Mendapati tawaran dari Mas Syahid yang membuat dokter Rahma langsung merengut tidak suka sontak saja membuatku menggeleng keras sambil mengangkat ponselku yang sedang menunjukkan aplikasi ojek online. 

"Nggak perlu, Mas. Ini Ojolnya udah OTW! Udah mau nyampe pula, naaaah itu dia..." ucapku girang saat seorang dengan seragam ojek online berlogo hijau yang menggunakan motor matic tersebut datang menghampiri dan menanyakan namaku, "makasih sudah nawarin tapi saya duluan." Terburu-buru aku segera menaiki motor tersebut, sungguh aku benar-benar tidak nyaman dengan pandangan datar dari dokter Rahma yang seolah mengatakan jika aku bersalah sudah berbicara dengan Mas Syahid.

Tapi kembali lagi, entah kerasukan setan apa Mas Syahid ini, lagi dan lagi saat motor tersebut sudah hampir berjalan, dia justru kembali menahanku dan itu membuat dokter Rahma benar-benar seperti ingin memakanku bulat-bulat.

"Sebentar, Mas." Mas-mas ojol yang menjadi driverku hanya manut-manut saja saat Mas Syahid memerintahkannya menunggu, di perintah dengan suara yang tegas seperti seorang Komandan memerintahkan anggotanya mana mungkin Mas Driver ini menolak, apalagi tampilan Mas Syahid yang tampak garang dengan potongan rambut cepaknya, "Mana ponselmu, saya minta nomor teleponmu. Ingat, ada banyak kesepakatan di antara kita."

Mas Syahid, matilah aku!!! Hilang sudah hidup tentramku di tempat kerja.


Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang