Part 3

3K 367 35
                                    

"Mbak Rasya....."

Tokkkk..... Tookkkkk.... Tokkk

Suara yang sayup-sayup memanggil namaku membuatku yang tengah terlelap perlahan  membuka mata, seluruh badanku terasa remuk dan wajahku bahkan begitu nyeri, bisa aku pastikan jika wajah dan tubuhku pasti akan membiru karena siksaan Ibu.

Sungguh aku berharap segala hal yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk namun sayangnya luka-luka di tubuhku yang berdenyut nyeri seakan mengejekku. Tidak, segala hal yang terjadi bukanlah mimpi namun kenyataan yang menyesakkan.

Ingin rasanya aku terus tidur saja agar tidak perlu menghadapi kejamnya hidup tapi terjebak di dalam kamar lusuh masa kecilku ini juga bukanlah satu pilihan.

Aaah, terkadang aku ingin sekali mengutuk takdir buruk yang aku alami, terlebih pada Ayah yang sudah begitu tega meninggalkan kami bertiga bersama Ibu demi wanita lain, dan kini sifat buruk Ayah nyatanya menurun pada Arman.

Miskin tapi kebanyakan gaya sok-sokan menghamili anak orang, entah mau di beri makan batu atau kerikil nanti anak dan istrinya jika dia menikah.

"Mbak, Ibu pergi sama Mas Arman pagi-pagi tadi, Mbak. Mbak Rasya keluar ya, biar Arumi obati luka Mbak."
Seolah tahu jika aku enggan keluar dan bertemu dengan Ibu dan Arman yang hanya akan membuatku mendapatkan luka-luka baru, Arumi yang ada di luar sana memberitahukan hal tersebut.

Melawan rasa sakit di sekujur tubuhku, aku beranjak bangkit, membuka pintu dan benar saja aku mendapati adik bungsuku tengah menunggu dengan wajah khawatir, ya, satu-satunya orang yang memanusiakanku di rumah ini hanyalah Arumi.

Adik kecilku yang kini tumbuh menjadi gadis yang cantik ini tidak pernah menuntut apapun dariku, bahkan sedari awal dia naik ke kelas XII, dia sudah bersiap untuk mendapatkan beasiswa kuliah sama seperti yang aku lakukan dahulu untuk melanjutkan pendidikan, karena Arumi selalu berkata dia tidak ingin merepotkanku terlalu banyak.
Sungguh aku terkadang bingung dengan sifat-sifat orang di rumah ini, Ayah yang brengsek dan meninggalkan kami begitu saja, Ibu yang tidak mau berjuang apapun untuk anak-anaknya, masih aku ingat dengan jelas bagaimana dahulu aku di paksa Ibu untuk menjadi buruh cuci dan setrika yang harus aku kerjakan setiap pulang sekolah sementara beliau asyik-asyikan di depan TV, sementara Arman yang merupakan anak kesayangan Ibu hidupnya benar-benar penuh gengsi seperti Ibu sendiri.

Tidak ada keprihatinan di diri Arman yang tanpa segan meminta ini dan itu, dengan Ibu yang selalu membelanya membuat Arman semakin semena-mena, lalu sekarang adik laki-lakiku tersebut membawa masalah yang menuntutku untuk aku selesaikan.

"Ibu pergi sama Mas Arman dari pagi-pagi tadi, Mbak."

Di tengah kegiatan Arum yang sedang mengobati bibirku yang sobek, dia menjelaskan tanpa aku minta saat aku celingak-celinguk mendapati rumah yang sangat sepi.

"Kemana, Rum? Ibu nggak mau pergi ke tempat yang aneh-aneh, kan?"

Bukan tanpa alasan aku menanyakan hal ini, pasalnya kelakuan nekad Ibu saat beliau tidak mendapatkan apa yang beliau inginkan dariku beliau seringkali nekad, terakhir kali beliau memintaku untuk membelikan Arman motor sport seharga nyaris 40 juta, beliau bahkan nekad mengutang pada rentenir, sontak saja saat jatuh tempo dan beliau tidak mampu membayar karena memang tidak memiliki uang selain dariku, akhirnya akulah yang harus membayar hutang tersebut untuk menyelamatkan sertifikat rumah yang Ibu jaminkan, sungguh jika mengingat motor sport yang jika di total harganya menjadi dua kali lipat harga normal yang menguras tabunganku tersebut membuatku ingin menangis.

Dan benar saja firasat yang aku rasakan, karena saat Arumi mendadak berhenti dan terlihat gugup kebingungan untuk menjawab aku tahu apa yang aku dengar bukanlah hal yang baik.

Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang