"Pokoknya Ibu nggak mau tahu Sya, urusan Arman dan Bella itu sepenuhnya tanggung jawabmu sebagai sulung di keluarga ini."Sulung, kata-kata itu bagai sembilu untuk diriku. Terlahir menjadi anak pertama di dalam keluarga membuatku memikul tanggung jawab yang sangat besar bahkan di luar kemampuanku. Seperti sekarang ini.
Suara Ibu yang melengking memenuhi ruang tamu sederhana yang tampak kusam karena entah berapa lama tidak di perbarui, membuat suasana suram di hatiku semakin muram di buatnya. Bagaimana tidak, aku baru saja menempuh perjalanan selama 8 jam untuk menuruti permintaan Ibu agar aku segera pulang masalah urgent namun ternyata masalah urgent yang di maksud Ibu adalah adik laki-lakiku, anak kesayangan Ibu yang selama ini di rajakan oleh Ibu hingga membuatku terus menerus mengalah untuk tidak menggapai bahagiaku, menghamili kekasihnya dan sekarang laki-laki yang masih menengadahkan tangannya tersebut kepadaku di minta pertanggungjawaban dari keluarga Sang Pacar untuk segera menikahi putri keluarga mereka jika tidak mau di jebloskan ke dalam penjara.
Jangan tanya bagaimana kecewanya aku sekarang, kata kecewa saja sudah tidak cukup mewakili bagaimana hatiku terluka dan berdarah-darah atas arang yang sudah di corengkan oleh adikku ini.
Lima tahun aku bekerja di sebuah rumah sakit seluruh uangku habis untuk menghidupi keluarga ini karena Ibu yang tidak mau bekerja dan juga adik-adikku yang di paksa Ibu harus berkuliah agar masa depan mereka cerah dan bisa menjamin masa tua Ibu, tapi justru berita memalukan ini yang aku dapatkan.
Aku yang berharap agar Arman segera menyelesaikan kuliahnya justru di hadiahi masalah sebesar gunung Himalaya. Aku ingin menangis frustasi karena kecewa namun aku sadar menangis pun aku tidak di izinkan di rumah ini.
"Aku harus bertanggung jawab seperti apa Bu terhadap Arman dan juga Bella yang Ibu sebut sebagai pacar Arman itu?" Tanyaku lelah, benar-benar lelah namun sayangnya Ibuku yang selama hidupnya selalu sukses menekanku tidak tanggap akan hal tersebut karena detik berikutnya beliau justru bersedekap dengan pongah membayangkan apa-apa saja yang akan beliau minta dariku.
"Ya kamu harus nikahin merekalah! Kamu harus modalin Arman buat bisa nikahin Bella, ingat ya Sya, Ibu pengen pernikahan Arman dan Bella megah, biar keluarga Bella yang tadi hina-hina Ibu malu sendiri karena ternyata kita bisa lebih dari mampu kalau cuma sekedar nikahin anak mereka yang murahan itu! Huuuuh, kalau bukan karena harga diri, ogah Ibu punya mantu perempuan murahan yang mau di ajak tidur sembarangan!"
Untuk pertama kalinya di dalam hidupku aku menggelengkan kepalaku saat Ibu meminta, hal yang membuat beliau langsung terbelalak marah namun aku sudah tidak peduli lagi, ucapan Ibu yang terlalu mau menang sendiri tanpa mau mengkoreksi diri jika beliau sebagai orang tua sudah alpa dalam mendidik anak laki-lakinya. "Perempuan murahan yang mau di ajak tidur sembarangan itu yang meniduri anakmu, Bu! Bukan cuma si Bella yang murahan, anak kesayangan Ibu itu juga memalukan, duit masih minta ke aku saja gaya-gayaan ngehamilin perempuan. Sekarang setelah bunting Ibu minta aku buat nikahin mereka dengan pesta yang mewah, Ibu ini gila atau nggak waras?"
Mendengar bagaimana aku berteriak begitu kerasnya pada beliau membuat Ibu terbelalak tidak terima, selama ini aku selalu menuruti apapun yang beliau inginkan tapi tidak sekarang ini.
Sudah terlampau banyak bahagiaku yang aku korbankan untuk beliau dan keluarga hingga aku bahkan lupa dengan bahagiaku sendiri.
PlakkkkkTamparan keras mendarat di pipiku hingga aku merasa pipiku begitu panas, tidak hanya sakit, bahkan aku merasakan anyir dari darah di dalam mulutku, sekuat itu Ibu menamparku karena aku menolak keinginan beliau.
"Ibu......" Kudengar pekikan khawatir dari Arumi, adik bungsuku yang tidak mengira bisa setega ini terhadapku namun seakan tuli Ibu justru menjambakku dengan kuat membuatku tertengadah menghadap beliau.
"Berani kamu ya melawan Ibumu sekarang! Ibu bilang kamu harus nyiapin pesta buat adikmu itu artinya kamu harus nyiapin, bukannya malah menolak! Mau jadi anak durhaka kamu, haaah?! Kamu itu jadi manusia nggak ada gunanya sedikit pun. Nggak becus bahagiain Ibumu."
Sesak, rasanya aku bahkan nyaris tidak bisa bernafas saat makian Ibu berhamburan di wajahku, aku ingin melawan namun kenyataan jika beliau adalah Ibuku membuatku frustrasi, entah bagaimana keadaanku sekarang ini, rambutku di jambak kuat-kuat bahkan dengan tega Ibu membenturkan kepalaku berulangkali ke meja ruang tamu dengan beragam cacian yang mengiringi.
"Ibu cuma minta pesta agar orang-orang yang menghina Ibumu ini malu dan dengan teganya kamu menolaknya. Kamu mau mempermalukan Ibu, haah? Jawab! Kamu mau keluarga Bella menghina Ibu!"
Puas menyiksa fisikku dengan kasar Ibu mendorongku hingga aku terhempas begitu saja ke lantai dengan begitu menyedihkan, Arum yang menyaksikan pun sudah mulai tersedu-sedu dalam tangisnya meminta Ibu berhenti, andaikan saja masih ada air mata yang tersisa di dalam diriku aku pun juga ingin menangis, sayangnya terlalu banyak hal menyedihkan yang aku rasakan selama ini hingga air mataku sudah kering.
Berbeda dengan Arum yang tampak begitu nelangsa melihat bagaimana beringasnya Ibu dalam menghajarku karena tidak mendapatkan apa yang beliau inginkan dariku maka Arman yang merupakan pelaku utama dalam penyiksaan yang aku terima ini hanya diam membisu, terpekur menunduk dan itu membuatku semakin muak.
Sungguh aku tidak iri melihatnya di manjakan oleh Ibu, bahkan saat dia molor kuliah yang seharusnya selesai satu setengah lalu pun aku masih berusaha maklum saat Arman beralasan jika dia sibuk dengan berbagai organisasi, segalanya aku berikan yang terbaik untuk kedua adikku bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kalinya aku perhatian pada diriku sendiri.
Tapi sekarang aku benar-benar di buat sakit hati oleh Arman dan Ibu, segala pengorbanan dan perjuangan yang aku lakukan kepada mereka sama sekali tidak di hargai.
"Cuiiiih. Dasar anak tidak berguna!" Seolah ingin semakin merendahkanku, Ibu, wanita yang selalu aku hormati meludah tepat ke wajahku, darah atas luka yang beliau torehkan pun belum aku seka dan sekarang beliau menambah deretan hinaan terhadapku.
Dengan hati yang remuk redam aku bangkit, menyeka sudut bibir dan juga jidatku yang berdarah aku menatap adik laki-lakiku tersebut dengan perasaan marah.
"Jika memang Rasya tidak berguna, lalu apa sebutan untuk anak laki-laki ibu yang suka membuat masalah ini? Sampah? Atau malah kotoran?"
"Rasya!!!"
"Mbak Rasya!"
"Jangan keterlaluan sama adikmu!"
Bersamaan Ibu dan adikku tersebut berteriak tidak terima, selalu seperti ini, mereka yang bersalah, mereka juga yang galak, oh Tuhan, kenapa Engkau begitu baik memberikanku keluarga yang sangat toxic ini? sungguh aku benar-benar ingin tertawa keras menertawakan hidupku yang terasa begitu menyedihkan."Lalu aku harus menghormatinya? Aku Bu yang jungkir balik bayar sekolahnya! Aku rela nggak makan demi beliin dia motor bagus biar dia nggak minder sama temennya! Aku bahkan nggak beli baju baru biar Arman saja yang berpenampilan layak, masih kurang semua itu, Bu? Ibu larang aku nerima lamaran Satya karena harus urus pendidikan mereka berdua Rasya menurut, lalu anak Ibu yang cuma bisa menengadahkan tangannya ke Rasya ini berbuat kesalahan dan Ibu malah mendukungnya?"
"...........""Lebih baik di penjara sekalian saja kamu Man manusia nggak berguna kayak kamu ini. Aku capek mengurusimu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomantizmAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...