Yuhuuu, yang mau baca Dear Arasya full part bisa melipir ke Karyakarsa, KBM atau playbook ya.
Happy reading semuanya.
Enjooyy"Yang sabar ya, Suster Arasya. Terkadang ada orangtua yang di takdirkan tanpa memiliki kasih sayang kepada anaknya. Saya benar-benar sedih loh waktu Mama Martha cerita gimana tunangan saya harus nolongin kamu, di dunia ini kok ada ya Ibu yang tega jual anaknya senilai 100 juta. Untung kamu ketemunya sama tunangan saya, dia mau bantuin kamu tulus, nggak cuma nolongin kamu dari percobaan bunuh diri tapi juga hutangin duit 100 juta yang bisa kamu cicil entah sampai kapan, coba kalau ketemunya sama Om-om hidung belang, sudah pasti mereka akan manfaatin kamu."
Aku menarik nafas panjang, menahan air mataku yang hendak tumpah walau kini kedua pelupukku terasa begitu panas di bawah pandangan penuh simpati dari Suster Riska dan dokter Niko.
"Ya ampun Arasya. Saya nggak nyangka kamu ngalamin hal seberat ini. Yang sabar ya, terus berdoa sama Allah supaya hati Ibumu yang keras di lembutkan."
Aku tidak bisa berkata-kata, selain meremas kedua tanganku dengan kuat menyalurkan perasaan perih yang tidak bisa kubendung aku hanya bisa mengangguk dalam diam menahan malu yang begitu menderaku.
"Kalau ada sekiranya yang bisa saya bantu jangan sungkan buat minta tolong ke saya ya, Sya. Sebisa saya, pasti saya akan bantu."
Ya, mungkin suster Riska dan dokter Niko benar-benar tulus mengungkapkan simpatinya untuk menolongku, tapi sosok dokter Rahma yang kini tersenyum penuh kepedulian kepadaku jelas sekali terlihat maksud di balik semua ucapannya.
"Sus, dok, saya pinjem Sus Arasya dulu boleh ya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengannya."
Dan di sinilah aku sekarang, duduk berhadpaan dengan sosok pediatric idola para anak-anak dan juga para orangtua di kantin rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa pengunjung yang terlihat dan suasana sepi ini semakin menambah perasaan tidak nyamanku saat berhadapan dengan dokter Rahma yang sedari tadi memandangku lekat dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah menilai diriku dan membandingkannya dengan dirinya sendiri.
Tentu saja di pandang sedemikian rupa oleh salah satu Atasanku membuatku tidak nyaman. Dia yang mengajakku berbicara di luar dan sekarang dia justru diam membisu, sungguh sangat berbeda sekali dengannya yang beberapa saat lalu begitu lancar mengumbar masalah pribadi seseorang. Ya, aku tidak mempermasalahkan dia mengungkit hutangku pada Mas Syahid karena aku memang benar berhutang pada tunangannya, aku bukan orang yang tidak tahu diri hingga tidak mengakui pertolongan yang di berikan para orang baik, tapi sikapnya yang mengumbar masalah pribadi seseorang tanpa seizin orang tersebut sangat menyinggungku
Mungkin jika aku tidak menghormati Mas Syahid aku tidak akan segan-segan untuk mendamprat dokter Rahma yang sudah begitu lancang mengusik hidupku, aku mungkin diam saja saat keluargaku menginjak-injakku seperti sampah tapi tidak akan aku biarkan orang lain menghinaku seperti yang telah dia lakukan.
"Ada yang mau dokter bicarakan dengan saya?" Sesopan mungkin aku bertanya kepada dokter Rahma, aku ingin pandangan menilai yang terkesan merendahkan yang dia lakukan segera berakhir. Ada pekerjaan yang bagiku lebih penting di bandingkan berhadapan dengannya ini. Dan apa yang aku lakukan barusan membuat dokter Rahma langsung mengernyit tidak suka seolah aku baru saja berucap hal lancang kepadanya.
"Apa sih yang sebenarnya Abang lihat darimu suster Arasya. Di bandingkan kamu, aku jauh lebih cantik, penampilanku lebih elegan di bandingkan dirimu, dan jelas posisi pekerjaanku jauh di atasmu, begitu juga dengan keluarga kita. Aku berasal dari keluarga yang terpandang, sementara kamu cuma orang yang terbuang."
Deg, kalimat dari dokter Rahma menusukku, tanpa berbasa-basi sama sekali saat hanya ada aku dan dia, kini dokter Rahma melepaskan topengnya memperlihatkan bagaimana sikap aslinya yang selama ini tersembunyi di balik seorang dokter anak bak malaikat. Aku tahu dokter Rahma tidak menyukaiku, bukan hanya dokter Rahma perempuan manapun tidak akan suka saat pria yang di cintainya dekat atau peduli dengan wanita lain. Tapi haruskah melontarkan hinaan seperti yang dia lakukan padaku sekarang?
Kedua tanganku yang ada di bawah meja terkepal erat, menahan emosi yang melonjak di dalam dadaku karena aku tahu, hinaan yang begitu menusuk tersebut baru permulaan dari sederet kalimat menyakitkan yang akan di berikan oleh dokter Rahma kepadaku.
"Ingat perbedaan itu baik-baik Arasya! Kamu sama sekali tidak pantas bahkan untuk sekedar berdekatan dengan Abang Syahid. Jangan pernah merasa besar kepala apalagi mengharapkan sesuatu yang lebih hanya karena mendapatkan simpati dari tunanganku. Kamu berbeda tempat denganku dan Bang Syahid. Tempatmu hanyalah gembel yang kebetulan di kasihani oleh calon suamiku."
"Dokter Rahma, apa yang Anda katakan keterlaluan." Tukasku tidak terima dengan semua prasangkanya yang benar-benar sudah tidak masuk di akalku.
"Keterlaluan mana aku di bandingkan kamu, Arasya." Dengan marah dokter Rahma menggebrak meja, dia benar-benar marah hingga melupakan bahwa bukan hanya kami berdua yang ada di kantin ini dan sekarang beberapa orang mulai berkasak-kusuk melihat sikap dokter Rahma yang sangat tidak wajar. "Siapa kamu sampai lancang meminta Bang Syahid memberikan uangnya untuk membebaskanmu. Kamu kira saya orang bodoh sampai tidak bisa membaca niat busukmu yang menjual kisah menyedihkan kepada Bang Syahid? Bukan nggak mungkin satu waktu nanti orang rendahan sepertimu akan menawarkan tubuhnya untuk mengganti hutang yang tidak sanggup kamu bayar. Aku sudah sangat paham cara berpikir orang miskin sepertimu."
Selama ini aku selalu mengangumi sosok anggun dan murah senyum seorang dokter Rahma Anjani, dia sempurna tanpa cela namun sekarang di hadapanku dia memperlihatkan sosoknya yang mengerikan, mulutnya begitu enteng merendahkan orang lain bahkan tanpa segan menghinaku.
Aku sadar diri siapa aku ini saat di sandingkan dengannya, bahkan aku sama sekali tidak memiliki waktu untuk mencari-cari perhatian Mas Syahid seperti yang dia katakan karena bagiku lebih penting aku mencari uang untuk membayar semua hutangku padanya, percayalah, harga diriku terlalu berharga untuk sekedar di tukar dengan nominal uang seperti yang di katakan oleh dokter Rahma.
Jika aku mau melacur demi uang tidak mungkin hidupku sengsara seperti sekarang ini karena kekurangan materi, terlalu banyak uang dan mabuk kekuasaan yang di miliki keluarganya sepertinya membuat otak dokter Rahma yang berisi empati tidak berfungsi dengan baik.
Enggan untuk lebih lama dengan manusia bermulut busuk sepertinya, aku memilih bangkit. Kusingkirkan rasa hormatku padanya jauh-jauh, kubuang juga rasa tidak enakku mengingat dokter Rahma adalah tunangan dari Bang Syahid dan juga wanita yang di pilih oleh Ibu Martha, aku membalas tatapan mencemoohnya dengan pandangan yang sama. Sebelumnya aku sama sekali tidak berminat meladeni dokter Rahma yang sedang cemburu buta, tapi semakin aku biarkan dokter Rahma semakin menjadi.
"Kalau Anda merasa saya hanya gembel di kasta terendah yang tidak akan bisa menandingi Anda, lalu kenapa Anda harus takut dengan kehadiran saya, dokter Rahma? Anda yang bilang sendiri kan jika saya tidak pantas bersaing dengan Anda?! Jadi berhenti menganggap saya saingan."
Seringai mengejek aku perlihatkan kepadanya membuatnya semakin terbelalak tidak menyangka aku akan menantangnya. Salah siapa, Dokter Rahma jual, tentu aku beli dengan harga yang sama.
"Takutnya jika Anda menganggap saya saingan Anda, takdir justru menjodohkan saya dengan pria yang Anda cintai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...