Part 8

2.7K 408 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


DEAR ARASYA juga update di Karyakarsa dan KBM loh

"AHHH, AKHIRNYA KAMU BANGUN JUGA."

Suara berat tersebut menyapaku dalam setiap langkah berat yang di ambilnya, dalam balutan kemeja hijau gelap dan celana panjang hitamnya sekarang pria asing yang tidak aku ketahui ini menatapku dengan tajam seolah tengah memaku diriku agar tidak beranjak pergi dari pembaringan.

Tidak perlu borgol atau tali sekali pun untuk menahanku karena mendadak saja tubuhku serasa kaku di tempat saat pria yang lebih mirip malaikat kematian di bandingkan seorang penolong ini saat mendekat ke arahku.

Jika saja apa yang tengah terjadi sekarang adalah bagian drama dari sebuah novel drama romantis, tentu adegan terpesona melihat ketampanan dan juga tubuh sempurnanya akan tergambar dengan banyak pemujaan dariku sebagai female lead, namun sekarang untukku yang tengah berada di dunia nyata di hampiri sedemikian rupa oleh seorang yang sama sekali tidak aku kenal, yang ada aku justru takut di buatnya alih-alih terpesona.

Aku yang sudah bersiap untuk mendapatkan semprotan kemarahan darinya dan ceramah tiba hari tiga malam segera membuang muka saat pandangan lekat tersebut sama sekali tidak teralihkan.

"Syahid nggak ngomong sama Mama. Syahid ngomong sama perempuan yang Syahid tolong, Ma. Dia sudah sadar sekarang!"

Aku kira panggilan telepon pria tersebut sudah terhenti, namun ternyata saat pria tersebut sampai di sebelah ranjang tempatku terbaring dengan santainya dia kembali melanjutkan seolah aku yang tengah menjadi bahan perbincangannya dengan seorang yang ada di seberang sana adalah mahluk tak kasat mata.

"Namanya juga rasa kemanusiaan, Ma! Mau nggak mau Syahid tolong, apalagi begitu sadar kalau dia itu yang tadi pagi datang ke acara ngunduh mantu anaknya Bu Nelli, yang Mama katain stres gegara di tinggal kawin si Satya."

Tuhan, kenapa dunia sempit sekali, di saat aku berlari sejauh mungkin dari tempat di mana orang-orang mengenalku saat aku hendak mengakhiri hidup kenapa orang yang bersikap sok pahlawan ini adalah salah satu orang yang menyaksikan betapa menyedihkannya aku yang di campakkan begitu saja oleh pacarku tadi pagi.

Tidak, kata di campakkan saja masih terlalu bagus. Aku sudah di campakkan, di buang, di khianati, dan bahkan di permalukan seolah aku datang untuk mengacau sementara sepatah kata pun tidak pernah keluar dari bibirku di saat seharusnya aku memaki perbuatan busuk kekasih dan temanku tersebut.

Sepertinya takdir memang tidak tanggung-tanggung dalam mengerjaiku. Aku hendak mati untuk mengakhiri semuanya di persulit namun untuk hidup rasanya aku sudah tidak sanggup dengan cercaan yang bertubi-tubi aku rasakan.

Malu untuk memandangnya aku memilih untuk menatap apapun di ruangan ini selain dirinya, mendadak saja lukisan abstrak yang sangat tidak aku sukai menjadi menarik di bandingkan wajah tampan pria asing yang tidak aku kenal ini.

"Takdir nggak akan mempertemukan seseorang tanpa ada tujuan di baliknya, Ma. Mungkin itu alasan yang paling bisa di terima kenapa Syahid bisa bertemu dengan perempuan tadi di saat dia mau bunuh diri di tempat yang sangat jauh dari rumah Bu Nelli."

Kembali, takdir dan segala hal yang membuat hidupku rumit yang turut ambil andil dan aku benar-benar lelah merasa di permainkan seperti ini. Walau aku tidak memandang pria yang berdiri di sebelahku aku tahu jika dia tengah menatapku saat berucap demikian.

"Syahid matiin dulu, Ma. Ada banyak hal yang Syahid harus bicarakan dengan orang yang baru saja Syahid tolong ini." Ucapan yang mengakhiri percakapan tersebut terdengar bersamaan dengan derit kursi yang di geser mendekati ranjangku, aku bertekad untuk mengabaikan pria asing ini namun tanpa meminta persetujuan dariku sama sekali, ranjangku mendadak bergerak membentuk posisi duduk yang sempurna, dan kali ini mau tidak mau di tengah keterkejutanku aku harus bertatapan dengan pria yang menampilkan wajah datar yang sangat tidak nyaman untuk di pandang. Dengan menyimpangkan kakinya penuh dengan kuasa, aura yang tidak terbantahkan yang menguar darinya sungguh membuatku seperti tengah berhadapan dengan hakim sekarang ini yang akan mendakwaku dengan sederetan kalimat manusia yang tidak pernah bersyukur dan berpikiran sempit.

"Mati tidak akan menyelesaikan satu masalah apapun di dalam hidup, Nona."

Benar bukan apa yang aku perkirakan, apa yang terucap darinya tidak lebih dari sekedar kata-kata template seorang motivator yang sebenarnya mereka tidak pernah merasakan betapa sulitnya hidup apalagi di tengah sandwich generation yang mencekik setiap anak yang di tuntut balas budi atas kasih yang di berikan orangtua.

Dengan malas aku beringsut untuk memperbaiki dudukku agar lebih baik dan menatap sosok yang aku perkirakan berusia awal 30 tahun tersebut, andaikan dalam kondisi normal mungkin aku akan mengagumi paras tegas dari rahangnya yang terbentuk jantan, masalah selera, namun menurutku pria ini terlihat tampan dalam gurat maskulin yang semakin tajam dengan alisnya yang melengkung seolah tengah menelisik terlebih dengan potongan rambut cepak dan kulit coklat terbakar sinar matahari semakin mempertegas aura alpha male yang menonjol dari pria di hadapanku. Seringkali berhadapan dengan bermacam-macam orang saat bertugas di rumah sakit membuatku menebak jika bukan Polisi di hadapanku ini adalah seorang Tentara.

"Tapi setidaknya mati bisa menyelesaikan masalah yang tengah saya alami." Aku ingin berteriak keras pada pria di hadapanku ini agar dia berhenti sok tahu karena dia tidak paham apapun tentang masalah yang tengah aku hadapi hingga aku berputus asa seperti sekarang, tapi sekarang untuk mengeluarkan nada tinggi pun aku sudah tidak sanggup lagi, alih-alih membentaknya seperti yang aku inginkan, suara lirih yang meluncur dari bibirku membuatku semakin terlihat menyedihkan, "Untuk apa Anda menyelamatkan saya bahkan membawa saya ke rumah sakit dengan ruangan semewah ini jika pada akhirnya untuk hidup pun saya sudah tidak sanggup lagi. Menolong saya hanya akan merepotkan Anda, Syahid!"

Walau susah payah aku berusaha mengulas senyum kepadanya saat aku menyebut namanya yang berulang kali dia sebut pria ini berbicara dengan Ibunya melalui sambungan telepon meski aku yakin senyuman yang aku perlihatkan tidak lebih dari sebuah ringisan yang menggelikan untuk di pandang.

"Itukan nama Anda? Saya memiliki tanggungan hutang yang sangat banyak sampai-sampai saya memilih mati karena tidak sanggup membayarnya, jadi bagaimana bisa saya nangis membayar tagihan rumah sakit ini. Seharusnya Anda tidak perlu menolong saya, Pak. Biarkan semuanya berakhir tanpa menyusahkan orang lain. Menjadi pahlawan memang bagus, Pak Syahid. Tapi saya sama sekali tidak membutuhkan pahlawan untuk hidup saya yang sudah berakhir."

Pria di hadapanku ini bersedekap tampak serius mendengarkan setiap apa yang aku ucapkan sama sekali tidak terpengaruh nada sarkas yang mungkin saja bisa menyinggung beberapa orang, sampai kemudian aku mendengarnya berdecak tidak sabar sebelum akhirnya dia bangkit dan membungkuk tepat di depan wajahku dengan salah satu tangannya tepat di sebelah kepalaku.

"Coba katakan apa yang bisa saya bantu agar bunuh diri bukan menjadi satu-satunya pilihan yang kamu miliki?!"

"..........."

"Dan itu bisa kita mulai dari menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu sampai kamu nekad untuk loncat dari jembatan!"

Dear Arasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang