Bergadang

84 16 2
                                    

   Ada sebuah tradisi di pesantren kami yang hanya dilakukan setahun dua kali yaitu pada malam terakhir sebelum liburan semester, tradisi ini awalnya dilaksanakan oleh para alumni dan dilanjutkan turun-temurun hingga kami sekarang akan tetapi, sebenarnya tradisi ini melanggar peraturan bagian keamanan pesantren, tradisi ini adalah bergadang dan OT.

   Di cerita sebelumnya sering kujelaskan bahwa santri di pesantren ini harus sudah tidur pukul 10 tepat dan meskipun itu malam terakhir di pondok sebelum pulang ke rumah peraturan tetap berlaku. Bagian keamanan malam itu pasti mencari mangsa, jika kurang beruntung atau tidak gesit saat berpura-pura tidur maka harus siap menerima hukuman berupa tawaf keliling lapangan utama.

   Selanjutnya adalah OT, berasal dari dua bahasa yaitu Arab dan Inggris yang disatukan. Open To’am. Open artinya membuka, To’am artinya makanan, entahlah siapa yang pertama memulai namun kami sering mencampur adukkan bahasa Inggris dan Arab, terkadang juga diselipkan imbuhan bahasa Indonesia seperti 'mah'  dan 'dong'.

   Pada malam terakhir kami biasa menghabiskan seluruh makanan di lemari untuk dibagi-bagi di kamar, bahasanya mah penghabisan untuk terakhiran.

   “Eh, Prabu! To’am lagi dong” Akhi Rafdi berseru pada akhi Prabu.

   “Ambil di lemari, abisin aja, abisin” akhi Prabu membenarkan kacamatanya dan melanjutkan membaca novel, menghiraukan kami yang sedang makan.

   “Oke, sultan mah beda, to’amnya banyak” akhi Rafdi mengeluarkan makanan dari lemari bagian bawah milik akhi Prabu lalu meng opernya pada kami yang berkumpul di tengah kamar, kami bersorak senang.

   “Sstthhh.... Jangan terlalu berisik, kalo Arya dateng denger kalian yang berisik belom pada tidur kena iqobah semua dah, ana juga nanti yang dimarahin ustad” akhi Ravid -ketua kamar- mengingatkan kami yang mulai gaduh. Arya adalah pengurus bagian keamanan yang paling menyeramkan ketika marah meski begitu ia memiliki paras yang rupawan.

   “Jam dua belas harus udah tidur ya, ane dah kasih dispensasi nih”

   “Na’am khi tapi gak janji” ujar akhi Hafidz.

   “Yeuuuuhhhhh ente” akhi Ravid mengepalkan tangan, membentuk tinju, akhi Hafidz nyengir, bercanda.

   Ketua kamar kami melangkah ke tempatnya tidur, ketua kamar kami yang satunya sudah lebih dahulu menyelami mimpi.

   Bermenit-menit berlalu, satu persatu anggota kamar mulai tumbang, mengantuk lantas tertidur di sembarang tempat. Makanan belum semua habis, masih tersisa beberapa bungkus makanan ringan. Suasana mulai hening, detik jam yang bergerak sampai terdengar suaranya. Menemani aku, akhi Hafidz, Aji dan akhi Prabu yang masih bertahan.

   “Aduh!” Akhi Hafidz meringis kesakitan serasa mengusap bagian belakang kepalanya.

   Akhi Hafidz menengok ke belakang dan menemukan sebuah batu kerikil di lantai “Gila! Ada yang ngelempar ane pake batu, siapa sih, gak sopan banget”

   Kami bertiga serentak bertukar pandang, akhi Prabu mengalihkan matanya dari novel lalu menunjuk jendela yang terbuka lebar di belakang akhi Hafidz.

   “Kayaknya ada bocah yang iseng, tutup dah jendelanya. Ji, tutup ji!” Akhi Prabu memerintah Aji menutup jendela.

   Aji beranjak dari tempatnya untuk menutup jendela.

   “Di luar anginnya kenceng banget” ujar Aji, ia kembali duduk dan mengambil sebuah keripik lalu memakannya.

   “Ada ada Bae ih, ngelempar batu ke kamar orang, gak ada kerjaan laen apa” akhi Hafidz mulai menggerutu.

HANTU PENJARA SUCI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang