"What makes us the most normal... is knowing that we're not normal." — Haruki Murakami, Norwegian Wood.
___________
"Lah udah mau jam 3, belum balik lu?"
Sean menoleh, ia menemukan Johnny—teman kerjanya—berjalan menuju chiller membawa dua dus minuman kemasan. "Sahur dulu gua." jawab Sean seraya membuka tutup cup mie instannya.
"Si anjing haha." Johnny tertawa mendengar jawaban asal-asalan Sean karena ia tahu betul teman kerjanya itu tidak beragama dan tidak percaya Tuhan. Johnny menyusun minuman kemasan yang di bawanya tadi kedalam chiller. "Lu masih jadi buronan Imigrasi?"
"Jelas, gak perlu di tanya." jawab Sean malas.
"Bali akhir-akhir ini emang lagi hobi deportasi bule-bule kere gak bermodal macem elu."
"Bacot, gua bukan bule. Nenek gua orang Bali."
"Tapi di atas kertas lu tetep WNA." Johnny mengingatkan tentang status kewarganegaraan Sean. "Hati-hati bulan depan lu di pulangin ke Kampung halaman hahaha."
Tidak ingin memikirkan nasibnya dulu, Sean memilih menghabisakan makan malamnya yang ia santap ketika jam menunjukan pukul 3 dini hari. Setelah selesai, ia lalu keluar dari Minimarket tempatnya bekerja selama enam bulan terkahir ini. Di luar ia disambut pemandangan dua orang anak muda yang tengah bercumbu di depan anak tangga menuju pintu Kelab malam—hal yang biasa.
Sean melangkah pergi namun seorang perempuan menabrak tubuhnya hingga tercium bau asap rokok bercampur alkohol. Tanpa mengucapkan apa-apa perempuan itu melenggang pergi seolah Sean hanyalah benda mati di pedestrian jalan—ini juga hal yang biasa.
Ketika Sean akan melangkah kembali, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia menunduk untuk meneliti apa yang terjadi. Sean mengerut kening saat menyadari ada sehelai benang wol berwarna merah muda tersangkut pada gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sean mengikuti arah jejak benang wol itu dan ternyata benang wol itu datang dari pakaian perempuan yang menabraknya tadi. Perempuan itu tidak menyadarinya, dia terus berjalan hingga bagian kulit punggungnya yang pucat itu lambat laun terekspos.
Perempuan itu—Zoey–mabuk, ia baru saja menghabiskan hampir setengah botol cointreau yang membuat otaknya agak lamban untuk menyadari jika terjadi sesuatu yang buruk dengan pakaiannya. "What the...... fuck..."
Samar Sean mendengar perempuan itu mengumpat ketika akhirnya menyadari nasib pakaian yang dikenakannya malam itu, ia lalu memutar tubuh menghadap Sean.
"Heeey... lo ngapain?..." Zoey bertanya, dengan langkah gontai ia berjalan menghampiri Sean.
"Sial..." Sean harus segera pergi menjauh, ia paling malas berurusan dengan orang mabuk karena sama saja seperti berurusan dengan orang gila. Sean menundukan kepala berniat memotong benang wol yang tersangkut itu dengan giginya, namun sebuah pukulan keras pada kepalanya menggagalkan niatnya. "Anjing! Lu sinting ya?" Sean mengusap kepalanya yang kini berdenyut.
Zoey menarik senyum tanpa dosa. "Jangan di potong benangnya... nanti bajunya rusak..."
'Nah kan... beneran gila. Nih cewe gak mau bajunya rusak karena benangnya mau gua potong, padahal jelas-jelas bajunya udah bolong...' Sean mencoba sabar. "Saya mau pulang, benang dari baju Mbak nyangkut di gelang saya, kalo gak di potong saya gak bisa pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Hiatus) Normales
RomanceTentang Zoey Patricia, Seaniel Noah dan rahasia mereka di masa lalu. Rick Warren menuliskan dalam bukunya; The Purpose Driven Live, jika kehidupan manusia di gerakan sesuatu. Ada manusia yang di gerakan oleh rasa kebencian--seperti Zoey. Mereka memp...