02 :: Bagaimana Kita Bertemu

24 5 0
                                    

Harsa mengeratkan jaket kulit hitam yang membalut tubuh proporsionalnya. Sesekali kedua telapak tangannya saling menggesek untuk menimbulkan percikan hangat. Sudah dua menit dia berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua ini, menunggu si pemilik membukakan pagar. Bulan Desember tak membohongi bagaimana dia selalu menempatkan angin dingin serta rintik hujan di sisinya. Ditambah gerimis menyambanginya ketika perjalanan tadi meski eksistensinya kini telah menghilang.

Tidak berapa lama Harsa menanti, seorang gadis cantik dengan sweater putih berjalan tergesa menghampiri. Di wajahnya tampak gurat menyesal telah membiarkan kekasihnya menunggu di depan pagar dalam cuaca dingin untuk sepersekian menit.

“Mas Asa maaf lama. Pak Yayan lagi keluar beliin aku bakso jadi ga ada yang nunggu,” ujar Bentala penuh sesal.

Harsa tersenyum seraya mendorong motornya memasuki pelataran rumah gadisnya itu. “Enggak apa-apa, baru juga sampai kok.”

“Katanya minta diantar gulai, kok malah minta Pak Yayan beli bakso?” tanya Harsa.

Bentala mencebik. “Ya takutnya kamu enggak jadi ke sini, Mas, sempet gerimis juga 'kan tadi? Terus katanya Pak Yayan mau keluar, ya, sudah sekalian nitip bakso. 'Kan enak, ya, dingin-dingin makan bakso pedes?”

Lidah Bentala otomatis berdecap, cukup dibuat ngiler hanya dengan membayangkan kuah panas bertabur sambal pedas juga bulatan daging kenyal itu.

“Jadi maunya gulai atau bakso, Sayangku?” tanya Harsa. Pemuda itu terkekeh pelan melihat kekasih cantiknya yang tampak antusias membayangkan nikmatnya semangkok bakso.

Rona pipi Bentala merah jambu. Gadis itu masih saja tersipu kala Harsa memanggilnya dengan panggilan sayang padahal keduanya telah menjalin kasih hampir empat tahun lamanya. Namun, tetap saja rasanya masih sama seperti saat pertama kali Harsa memanggilnya begitu. Ada perasaan senang, gugup, dan malu bercokol dalam hatinya.

“Kenapa kok mukanya merah?” Harsa makin dibuat gemas dengan kekasihnya itu. Kedua tangannya terulur mencubit pipi putih Bentala. Tak kuat menahan segala keimutan pacarnya itu.

“Mas Asa, sih!” sungut Bentala, “udah, ah, yuk masuk! Dingin tahu di sini lama-lama.”

Digandengnya lengan kiri Harsa, sedangkan tangan kiri Bentala menenteng rantang berisi gulai dari ibu sang pacar. Bentala meminta Harsa untuk langsung menuju sisi kanan bagian rumah sementara gadis itu berlalu ke dapur untuk memanaskan kembali gulai. Tanpa meminta petunjuk arah pun, Harsa sudah hafal di luar kepala bagian rumah sang kekasih. Maklum sudah hampir empat tahun pacaran dan sudah dikenalkan masing-masing ke orang tua, jadi sedikit banyak Harsa mulai mengenal keluarga Bentala, termasuk bagian rumah gadis itu. Namun, dari sekian banyak ruang yang tak pernah Harsa masuki, yakni kamar gadisnya dan tentunya kamar orang tua Bentala.

Harsa mengambil duduk di kursi rotan yang menghadap kolam renang. Di sana juga terdapat rak kecil berisi tatanan pot bunga hias dan novel fiksi milik Bentala. Berbeda dengan Harsa yang mengagungkan senja dan akan betah berlama-lama menatap langit oranye berteman kopi hitam dan genjrengan gitar. Bentala lebih suka dengan kegiatan membaca buku di temani cangkir berisi teh herbal juga beberapa cookies. Bahkan, pacar dari Harsa itu betah duduk berjam-jam di sana untuk menghabiskan bacaannya.

Harum aroma gulai tercium, bercampur dengan aroma kuah bakso yang menggoda. Bentala dibantu Bi Nurma—seorang asisten rumah tangga—membawa dua bungkus bakso, dua mangkuk kosong beserta sendok, semangkuk gulai, dan satu mangkuk kecil berisi nasi hangat. Tidak lupa teh herbal yang masih mengepul di dalam teko kaca.

“Mas, itu lilinnya ditaruh di bawah aja.” Segera Harsa menuruti titah sang kekasih. Dia pindahkan lilin aroma terapi dari meja ke atas rak.

“Banyak banget, La, sampai enggak muat mejanya,” ujar Harsa saat Bentala tengah menyusun makanan di atas meja bundar itu.

Symphony Harsa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang