Bentala menatap buliran hujan dengan raut sendu. Berdiri di teras kelas hampir dua puluh menit menunggu hujaman air mereda. Dia lupa lagi membawa payung. Serena juga izin tak kuliah hari ini lantaran menemani ayahnya ke rumah sakit. Kini, dia sendiri. Dia bukan golongan orang yang mudah akrab dengan orang lain. Dengan teman sekelas pun dia hanya berbicara seperlunya saja. Hanya dengan Serena dia banyak bicara. Jadi, ketika sahabatnya itu tak bisa hadir, Bentala seolah menjadi gadis paling introvert di dunia.
Helaan napas kembali keluar. Volume hujan tidak semakin mengecil justru kian membesar. Bentala tetap berdiri di teras dengan sesekali menggosok lengan dengan telapak tangan. Tidak berniat beranjak ke dalam kelas yang terdapat beberapa mahasiswa duduk bergerombol saling mengobrol. Bentala tak minat sama sekali untuk turut andil dengan mereka.
Getaran di saku celana mengalihkan perhatiannya. Diraihnya ponsel itu dan membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Harsa. Pemuda itu mengatakan baru saja bangun dari tidur siang, itu pun bangunnya karena diteriaki Ratih untuk membantu mengangkat jemuran. Harsa juga mengatakan hendak menghampiri Bentala. Namun, usulan itu buru-buru ditolak sang gadis. Repot urusannya kalau sampai Harsa nekat menerjang hujan. Ditambah laki-laki itu memang mudah sekali terserang demam.
Jari-jari Bentala bergerak lincah di atas papan ketik. Alisnya terkadang menukik tajam saat Harsa membantahnya lewat pesan singkat yang dikirimkan pemuda itu. Cukup lama mereka berdebat tak menemui jalan temu hingga panggilan masuk dari kekasih Bentala itu.
“Kenapa nggak mau dijemput?” tanya Harsa tanpa basa-basi.
Bentala menghela napas pelan. “Ngerti hujan nggak, sih, Mas? Nanti kamu sakit. Aku juga bawa mobil kok.”
“Ya terus masalahnya apa? Aku lebih tenang kalo aku nganter kamu pulang. Mobilmu titip Serena aja! Nanti mas jemput.”
Bentala berdecak pelan. “Serena nggak berangkat, Mas. Sumpah aku nggak papa pulang sendiri. Nanti aku pulangnya nunggu hujan reda sedikit. Jadi, Mas Asa nggak perlu khawatir.”
“Yakin? Mas susul aja, ya? Kamu pasti nunggu hujan sendiri 'kan?” Rupanya Harsa masih belum menyerah. Tahu sekali pemuda itu kalau Bentala kini tengah menunggu sendiri.
“Enggak usah, Mas. Lagian aku nggak sendiri, banyak temennya kok di sini,” ujar si gadis berbumbu sedikit rasa dusta.
“Ya udah deh. Nanti pulangnya hati-hati, ya. Enggak usah ngebut!”
Bentala tersenyum manis. “Siap, Bos!”
“Mas tutup telfonnya, ya. Nanti kabari kalau udah sampai rumah. Paham, sayang?”
Bentala di seberang sana menahan semu kemerahan di pipinya. Bibirnya berkedut menahan senyum. “Siap, Pacar Tala paling ganteng.”
Lali jemari lentik itu buru-buru menekan ikon telepon berwarna merah. Berniat mengakhiri percakapan tanpa mendengar balasan dari kekasihnya. Demi apa pun, Bentala amat malu sekarang. Jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat. Rasa malu memuncaki ubun-ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfiction[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...