10 :: Belenggu Rasa

11 2 0
                                    

Keesokan pagi, Bentala kembali berkunjung ke kediaman Harsa. Jika biasanya dia akan membawa kue manis sebagai buah tangan, maka pagi ini dia membawa rantang makanan dengan berbagai lauk, mulai dari ayam goreng bumbu lengkuas, sambal kentang hati, sayur sop, tak ketinggalan pula sambal dan lalapan. Alasannya karena Ratih masih belum bisa memasak lagi. Meski keadaannya sudah berangsur membaik, wanita paruh baya itu tetap merasa ngilu bila harus berdiri untuk waktu yang tak sebentar. Oleh karena itu, Bentala tak ingin ibu dari kekasihnya itu kecapaian. Ditambah tidak enak rasanya bila Harsa terus meminta makanan di rumah si kembar, meskipun akan diterima dengan senang hati.

"Assalamualaikum, Ibuk!" sapa Bentala kala memasuki pintu rumah Harsa. Dilihatnya Ratih yang duduk di sofa memandang layar teve.

"Waalaikumsallam, Cantik! Maaf ya Ibuk ga bisa nyambut kamu. Masih suka sakit kalau dibuat jalan," balas Ratih.

"Ya gapapa, dong, emang Bentala siapa pakai disambut segala," kelakar Bentala sembari menyalami Ratih, lalu mengambil duduk di samping wanita itu.

"Ibuk gimana keadaannya? Mas Asa tuh nyebelin tahu, masak ibuk kecelakaan aku nggak dikasih tau!"

Ratih terkekeh. "Ya mungkin Mas-mu lupa, Dek. Kemarin dia panik banget. Kamu tahu sendiri dia kalau panik bagaimana."

Bentala mengangguk singkat. Tahu persis dia perangai Harsa ketika dilanda panik, lupa segalanya dan tak mampu berpikir jernih. Pernah suatu waktu, ketika dia masih SMA dan Harsa seorang maba kala itu. Ketika mendengar dirinya kecelakaan kecil saat berangkat sekolah, tanpa basa-basi Harsa pergi meninggalkan kampus, padahal saat itu ospek masih berlangsung. Oleh karena itu juga, Harsa dicap sebagai bocah bengal karena berani meninggalkan ospek dan sempat adu tinju dengan seniornya karena tak diperbolehkan meninggalkan kampus.

"Terus Mas Asa-nya mana, buk?" tanya Bentala.

"Dikamar tuh, tidur paling. Tadi habis subuh dia gendong ibuk ke sini setelah buatin teh, habis itu pergi ke rumah Juna, pulang-pulang bawa bolu kukus. Tuh dimakan, Dek, yang buat Jovita sendiri itu!" Ratih menawarkan bolu kukus yang tersaji di meja. 

"Nah, jam enam keluar lagi katanya mau beli bubur. Lah habis makan bubur malah masuk kamar lagi gak keluar-keluar dari sekarang. Tidur itu pasti," sambung Ratih. 

Bentala melirik jam dinding, pukul sembilan pagi. Terhitung hampir tiga jam lamanya Harsa terlelap.

"Gak dibangunin, Buk, tidur pagi kan ga bagus?" ujar Bentala.

Ratih mengela napas. "Udah. Tadi ibuk bangunin, tapi ga bangun-bangun. Kesel Ibuk tuh, Dek, Mas-mu itu kalau dibilangin ga nurut-nurut. Dibilang jangan tidur habis subuh, tetap aja dilakukan. Tapi sedikit banyak salah ibuk juga sih, dulu Ibuk yang memperbolehkan dia tidur sehabis subuh waktu kecil. Eh malah keterusan sampai sekarang begitu."

"Yah maaf dong cantikku. Anakmu yang ganteng ini ngantuk tahu." Tiba-tiba Harsa datang dengan wajah khas bangun tidurnya. Lantas pria itu mengambil duduk di sisi Ratih dan langsung memeluk ibu tercintanya itu. Jadilah, Ratih berada di tengah-tengah putra dan kekasih putranya itu.

Ratih mencubit perut Harsa. "Ya lagian kamu dibilangin mbok ya nurut tha, Le!"

Harsa mencebikkan bibir. "Ya gimana ya, Buk. Susah sih nahan godaan setan."

Bentala hanya tersenyum geli melihat adegan ibu-anak itu. Lucu, batinnya.

"Tumben bisa bangun sendiri? Biasanya kalau gak dibangunin bisa sampai jam satu nggak bangun kamu, Mas!"

"Tuh mantumu kan mau datang, Buk. Ya harus bangun pagilah." Tunjuk Harsa pada Bentala.

"Bawa apa kamu, Dek?" tanya Harsa begitu melihat sebuah tas kain di atas meja.

Symphony Harsa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang