Susu jahe tampak mengepul di atas gelas kaca yang terduduk di lempengan cawan kecil. Aroma wangi jahe menusuk hidung, menghangatkan saraf yang mulai membeku. Aroma itu berperang dengan kepulan mendoan yang baru diangkat dari atas wajan, sulut tembakau dibakar, dan kuah mie instan yang siap diseruput.
Guyonan receh terlontar, malam ini warung Lik Bos ramai riuh.Di antara lautan manusia yang menyesaki angkringan Lik Bos, ada Harsa yang sejak tadi menempelkan kedua telapak tangan di sisi kaca susu jahe mencari kehangatan. Mengabaikan tawaran rokok dari Arjuna dan kopi hitam dari Djanaka. Sebab, badannya sudah hampir menggigil.
Malam telah mencapai dini hari, tetapi keramaian angkringan Lik Bos justru semakin bertambah. Harsa pun tidak lagi kedinginan karena telah menghabiskan segelas susu jahe panas dan mie kuah rebus. Pemuda itu masih asik guyon dengan beberapa rekan satu tongkrongannya itu.
“Jam setengah dua belas, Sa, enggak dikunciin Ibuk ta?” tanya Arjuna disela mengunyah mendoan.
Refleks Harsa melirik ponselnya. Benar, waktu telah memuncaki dini hari. Pamitnya dengan Ratih tadi dia akan pulang jam sembilan malam dan pamitnya dengan Bentala dia akan langsung pulang tanpa mampir-mampir dahulu. Namun, kenyataannya dia berdusta. Bahkan ini sudah hampir tiga jam dia melipir. Data seluler yang sengaja dimatikan kini kembali dihidupkan. Seketika meringis kala mendapati lima belas panggilan tak terjawab dari Ratih dan tujuh panggilan tak terjawab dari kekasihnya, Bentala. Harsa juga diserang dengan dua puluh lima balon chat dari pacarnya itu. Berbeda dengan Ratih yang hanya mengirimi satu balon chat singkat, tetapi bagi Harsa ngeri bukan main.
“Enggak usah pulang sekalian. Rumah udah Ibuk kunci.” Tawa Arjuna membahana setelah membaca satu pesan yang dikirimkan ibu sahabatnya itu.
Sementara Harsa mencebik, ada kalanya Ratih bersifat kejam padanya terlepas dari sifat malaikatnya. Contohnya, ya, begini, ketika Harsa mengabaikan dirinya.
“Mau balik sekarang?” tanya Arjuna setelah menghentikan tawanya, hanya tersisa senyum bulan sabit.
Harsa mendengus. “Percuma, Jun, rumah juga sudah dikunci. Numpang rumah Lo aja,” katanya.
“Yowes, lanjut berarti. Tenang si monyet bawa kunci cadangan.” Arjuna menunjuk Djanaka yang sibuk meneriaki karakter gim di ponselnya.
Sebuah tepukan di pundak menginterupsi Harsa. Seorang pemuda dewasa tampak tersenyum kepadanya. “Eh, Mas Sena. Sehat, Mas?” Harsa menyalami orang itu disusul Arjuna.
“Lebih dari sehat ini, mah, Sa.” Sena mengambil duduk di antara Harsa dan Arjuna. Memesan kopi hitam pada Lik Bos juga mendoan hangat.
“Tumben jam segini keluar, Mas?” tanya Djanaka yang sudah berpindah duduk di samping Harsa.
“Ya, justru itu keluarnya cuma bisa di jam segini. Kalau rada sore si bocil minta ikut. Ini aja nungguin dia tidur lama banget,” keluh Sena, semua tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfic[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...