Kebahagiaan di kala cahaya merah senja menyapa adalah arti dari nama seorang pemuda yang tengah duduk di kursi rotan berteman langit oranye dan segelas kopi hitam. Batang rokok telah mencapai bonggol dan berakhir mengenaskan di lempengan asbak. Harsa begitu orang akrab memanggilnya. Pemuda itu amat menyukai panorama pergantian siang dan malam. Saban hari ketika mentari tenggelam dia akan duduk di teras bersama kopi hitam dan sekotak rokok atau sesekali berteman gitar.
Baginya, senja adalah suatu hal yang amat mengagumkan terlepas filosofinya yang memilukan. Kata orang, senja adalah gambaran perpisahan. Di mana raja siang akan tenggelam dalam gelapnya malam. Mengajarkan bahwa tidak selamanya akan sama, yang tampak gagah pasti juga akan tenggelam dan meredup tertelan hitam. Namun, Harsa tetaplah pemuda dengan sejuta keras kepala. Dia membantah bahwa kecantikan senja hanya menorehkan luka.
Menurutnya, meskipun berpisah dengan raja siang sang sumber penerangan. Akan tetapi, di gelapnya malam akan ada pancaran sang dewi sebagai pelipur lara. Ditambah jutaan kerlip bintang yang bertaburan. Rasa sakit itu akan terlena begitu saja. Begitu anggapannya hingga saat ini. Sebelum dia mendapat karma karena terlalu mengagungkan kecantikan semu tersebut.
Terdengar lirih bersajak mengalun dari bibir Harsa. Dipadu genjrengan dawai gitar membuat suasana lebih hidup. Sesekali akan terhenti, entah untuk menyeruput cairan hitam berkafein atau sekadar menghisap batang tembakau, salah satu hal yang amat dibenci Ratih, sang Ibu. Wanita itu akan kecewa berat bila mengetahui putra kebanggaannya mendekati salah satu hal yang dibencinya.
Pernah suatu kali, kala itu Harsa yang melakukan rutinitas biasa—menanti tenggelamnya sang mentari—secara diam-diam menambahkan batang tembakau sebagai teman bersama gitar dan kopi hitam. Pikirnya tidak apa-apa, sebab Ratih yang tengah pergi ke rumah saudara akan pulang malam. Namun, baru dua hisapan dia nikmati batang beracun itu, tahu-tahu Ratih sudah berkacak pinggang di depannya. Marahnya Ratih adalah bencana bagi Harsa. Ketika marah atau pun kecewa, Ratih yang semula lemah lembut, ramah, dan perhatian akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi cuek, dingin, banyak diam, tapi sekalinya berbicara ketusnya bukan main. Harsa dibuat kelimpungan lantaran Ratih mendiamkannya selama tiga hari. Tiga hari itu pula tak bertegur sapa dengan benar, segala sesuatu harus dia siapkan sendiri mulai dari makan, menyeterika hingga cuci baju yang biasa dibantu oleh Ratih. Parahnya dia tidak bisa bermanja-manja dengan cinta pertamanya itu.
"Asa!"
Suara Ratih terdengar dari arah dapur. Cepat-cepat Harsa membuang sisa batang rokok yang masih separuh itu. Abu bekas bakaran tembakau di asbak langsung ditumpahkan ke tempat sampah, sedangkan asbaknya langsung dieksekusi untuk diamankan di bawah kolong meja. Tangannya meraih satu bungkus permen di kantong lantas memakannya. Berusaha mengelabuhi Ratih sebab baru saja dia merokok. Tidak lupa dia memasang wajah tanpa dosa agar ibunya tak curiga.
"Nak, dipanggil dari tadi kok tidak menjawab, sih?" Ratih berdiri di depan pintu penghubung dapur dengan teras belakang, tempat Harsa biasa bersemedi, entah mencari inspirasi tentang tugas, menulis lirik lagu, atau sekadar bengong semata.
Bagi Harsa teras belakang adalah tempat ternyaman nomor dua setelah kamar pemuda itu. Duduk di kursi kayu menghadap arah matahari tenggelam, di temani secangkir kopi di meja kecil yang menjadi penengah dua kursi kayu tersebut. Pula dengan segar mewangi dari bunga yang sengaja ditanam Ratih di sepetak tanah kecil di halaman belakang yang difungsikan sebagai taman. Lengkap dengan dua lampu taman yang berdiri di antara tanaman bunga mengakar. Selain tanaman bunga, terdapat juga tanaman hidroponik yang menggantung di tembok belakang. Memang produktif sekali Ibu Harsa ini.
"Lagi merangkai kata buat lirik lagu yang bagus, Buk. Kenapa Ibuk manggil Asa?" dalih Harsa. Lihat penampilannya totalitas sekali menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Raut wajah disetting agar tampak seperti orang yang tengah berpikir keras, rambut diacak-acak seperti orang frustasi, atau bibir yang bergumam agar dikira benar-benar merangkai kata padahal sebetulnya hanya kalimat-kalimat tak bermakna yang keluar dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfiction[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...