Typo is manusiawi 💅
Suara kokok jago bersahutan membangunkan insan dari lelapnya alam bawah sadar. Semburat kemerahan mentari mulai mengusir pekatnya malam. Di sebuah kamar, dengan jendela yang dibiarkan terbuka. Tirai putih melambai-lambai tersapu angin pagi. Hawa sejuk merasuk ke dalam ruangan empat kali tiga meter itu. Cukup mengusik seorang pemuda yang terlentang di atas kasur dengan netra yang tak terpejam bahkan sedikitpun. Dirinya lelah, tetapi tubuhnya seolah menolak diistirahatkan.
Pemuda itu, Harsa, melirik jam weker di meja kecil di samping ranjangnya. Pukul lima kurang lima menit. Dia memejamkan matanya sesaat, bahkan ini sudah tiga puluh menit dirinya mencoba melelapkan diri. Biasanya, sehabis salat subuh, rasa kantuk amat mudah menyerangnya. Akan tetapi, kali ini jauh berbeda. Rasa kantuk itu tak datang sama sekali meski dia habiskan malam tanpa tidur sedetik pun.
Semalam, saat presensi si kembar masih di kamarnya, Harsa bisa sedikit rileks karena guyonan dari Djanaka yang cukup mengusir suntuk dan peningnya. Namun, ketika si kembar pamit pulang dini hari tadi, benang kusut dalam otaknya muncul kembali. Berakhir dia yang tak bisa tidur.
Suara ketukan pada daun pintu membuyarkan pikiran Harsa. Disusul suara lembut Ratih. "Asa sudah bangun, Nak?"
Harsa bangkit dari baringannya. Membuka pintu kayu itu, dan wajah teduh sang ibunda menjadi pemandangan pertama kali.
"Ibuk kok di sini? Kakinya memang sudah tidak sakit dibuat berjalan?" tanya Harsa.
"Masih sedikit linu, tapi gapapa. Kan memang harus dibiasakan jalan biar cepat pulih," balas Ratih, "sudah salat, Nak?"
Harsa mengangguk. Perlahan dia tuntun si ibu ke sofa ruang tamu. Menyalakan teve untuk mengisi keheningan. Di jam-jam ini biasanya Ratih sudah sibuk di dapur, tetapi akibat insiden kemarin dia harus absen hari ini.
"Kamu kalau mau sarapan buat sendiri dulu, ya, Nak. Kaki Ibuk masih suka sakit kalau dibuat berdiri lama-lama."
Harsa mengangguk lagi. Dia tumpukan kepalanya pada pundak Ratih. Kedua tangannya memeluk mesra ibunya itu.
"Gampang itu, Buk. Kalau nggak mau masak, tinggal ke rumah Tante Jovita juga dikasih makan."
Detik berikutnya mulut Harsa ditepuk pelan oleh Ratih. "Minta, minta! Kayak di rumah nggak dikasih makan aja kamu, Mas!"
Harsa terkekeh kecil. Semakin mengeratkan pelukannya pada wanita paruh baya itu. Dirinya menatap sendu Ratih yang tengah khidmat menonton siaran televisi itu. Tak bisa Harsa bayangkan bila wanita nomer satu dalam hidupnya itu bukanlah ibu kandungnya.
"Asa sayang Ibuk," lirih Harsa dibalas senyuman teduh Ratih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfiction[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...