Typo is manusiawi 💅
“Harsa!” Dapat Harsa lihat raut kaget terpancar dari Jovita mengenai keberadaannya. Namun, dalam sekejap wanita itu merubah ekspresi terkejutnya menjadi santai seolah tak terjadi apa-apa. “Sudah pulang, Nak?”
Harsa hanya mengangguk seraya tersenyum, lalu menyalami kedua wanita paruh baya yang duduk di sofa ruang tamunya itu.
“Ibuk gimana keadaannya, Tante?”
Jovita masih tersenyum. Wanita itu mengulurkan sehelai tisu kepada Harsa. Melihat keringat yang mengalir di pelipis anak itu, Jovita yakin bila Harsa terburu hingga dilanda panik.
“Ibumu sudah tidak apa-apa. Tadi sudah dibawa ke puskesmas juga,” balas ibu dua orang anak itu.
“Harsa ke kamar Ibuk dulu, ya, Tante?” pamit Harsa yang segera diangguki Jovita.
Perlahan pintu kayu berbahan jati itu dibuka. Dapat Harsa lihat wanita kesayangannya itu terbaring di atas kasur berlapis seprai biru. Ratih tengah damai dalam lelapnya. Harsa pun memelankan setiap pergerakannya agar tak mengganggu tidur sang ibu. Namun, sia-sia, kepekaan Ratih itu di atas rata-rata. Sejak Harsa membuka pintu pun dia sudah sadar. Ditambah mendengar grusah-grusuh putranya yang ikut berbaring di sampingnya itu. Ratih sebisa mungkin menahan senyumnya.
“Nggak usah peluk-peluk, panas tahu!”
Tangan Harsa yang hendak memeluk tubuh ibunya pun kembali ditarik. “Oke,” jawabnya sebelum menyadari sesuatu.
“Ibu udah bangun?!” Harsa memelotot, hingga tanpa sadar berteriak tepat di samping telinga ibunya.
“Nggak sopan teriak di telinga ibunya!” tegur Ratih membuat Harsa mengerucut.
“Ya maaf, habisnya Ibuk ngagetin, sih!” balas Harsa, “Ibu gimana keadaanya? Masih sakit?”
Ratih menggeleng. Posisinya kini tak lagi berbaring, melainkan duduk bersandar di kepala ranjang. Harsa senantiasa terbaring, bedanya kini berbantal paha ibunya.
Harsa berdecak. “Enggak gimana? Lecet itu tangannya. Pasti sakitlah.” Harsa menunjuk lengan kiri Ratih yang kini diperban.
“Ibuk kok bisa kecelakaan, sih?” tanya Harsa sembari netranya terpejam—nyaman akibat usapan lembut di surai hitamnya.
“Takdir, Mas,” kelakar Ratih, “bercanda ganteng. Tadi tuh tiba-tiba ibu ditabrak dari belakang di perempatan dekat pasar tuh, padahal Ibuk nggak salah apa-apa. Emang gila itu orang.”
Rupanya Harsa tahu usut permasalahannya. “Ibuk nggak salah nyalain lampu sein lagi 'kan? Tadi nyalain ke kanan atau kiri?”
Ratih dibuat tertawa canggung. “Ibuk lupa, Mas.”
Harsa rasanya mau tenggelam saja di rawa-rawa. Kejadian ibunya ditabrak dari arah belakang itu bukan satu-dua kali terjadi, penyebabnya adalah ibunya yang salah menyalakan lampu sein atau terlalu mendadak saat berbelok. Sudah diperingati berulang kali, tapi masih saja diulangi. Harsa sempat melarang Ratih berkendara lagi. Namun, ada saja alasan wanita paruh baya itu agar tidak dipisahkan dengan motor matic kesayangannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Harsa [TERBIT]
Fanfiction[15+] Simponi Harsa mengalunkan melodi sendu bersajak pilu. Tentang rasa sakit yang membelenggu. Putusan takdir tak dapat berubah membuatnya diliputi resah. Akankah dia tabah? ••• Kisah ini tentang Harsa dengan segala kekecewaannya kepada permaina...