58 | Burden

706 101 9
                                    

"Bu, dicariin Mas Aksan."

Kia yang sedang memasak di dapur langsung menoleh saat asisten rumah tangganya mengabarkan kedatangan Aksan. "Langsung disuruh ke kamar Adek aja, Mbak."

"Nyariin Ibu katanya."

Kia mengernyit bingung. Dia kemudian menyerahkan masakannya pada sang ART dan menghampiri Aksan yang sudah duduk di sofa dan menonton TV di ruang tengah.

"Aksan?" Yang dipanggil menoleh dan langsung bangkit dari duduknya untuk mencium punggung tangan ibu dari Agas itu. "Kamu nyariin Ibu?"

Aksan mengangguk. "Ini ... disuruh ngasih ini sama Bunda." Aksan mengulurkan sebuah paper bag dari fashion brand terkenal.

Kia menerima paper bag tersebut, meski masih kurang paham situasinya. "Lho, emang Bunda habis dari mana? Bukannya dari kemarin Bunda di Jakarta aja?" tanyanya seraya mengecek isi paper bag tersebut, yang ternyata adalah sebuah clutch mewah berwarna hitam.

"Ayah kayaknya yang bawa. Bunda nitip kali. Kemarin Dena disuruh bawa punya Mama Aleya juga," jelas Aksan sambil mengangkat kedua bahunya.

Kia manggut-manggut. "Yaudah, makasih, ya. Nanti Ibu chat Bunda."

Aksan mengangguk mengiyakan. "Agas di rumah, Bu?"

"Iya, tu di kamar. Samperin aja. Dari kemarin anaknya murung terus. Dihibur sana. Ibu kasian liatnya."

Aksan berdecak pelan. "Ya, itu salah dia sendiri, sih, Bu. Pake acara terima-terima aja dijodohin."

Kia menghela napas lelah. Dia mendudukkan diri di sofa, yang kemudian disusul oleh Aksan.

"Ibu udah sempet bilangin Agas?"

Kia mengangguk. "Udah, dong, San. Apalagi Ayah Arga. Kami semua tahu gimana struggles-nya bunda kamu waktu mau cerai dulu. Padahal, sebelumnya ayah-bundamu keliatan saling sayang dan cinta banget. Tapi, ternyata mereka tetep cerai. Ibu nggak mau hal itu menimpa Agas juga, Nak."

Aksan masih diam mengamati wajah lelah Kia. Dia merasa iba pada tantenya itu. Dia juga merasakan bagaimana susahnya menjadi anak dari korban perceraian.

"Ibu nggak pernah permasalahin Agas mau memilih siapa buat jadi pendampingnya. Tapi, nggak dengan cara perjodohan kayak gini. Walaupun Ibu tau Agas sama Gienka berteman dekat, tapi dipaksa untuk berjodoh di saat mereka nggak punya perasaan sayang untuk masing-masing kayaknya salah," lanjut Kia.

Aksan mengangguk mengaminkan. "Aku sama yang lain juga nggak pernah permasalahin mau sama siapa masing-masing dari kami milih pacar. Termasuk Agas. Toh, Gienka anaknya baik juga. Aku sama yang lain juga udah lumayan deket sama dia. Tapi, yang bikin kita semua marah tu bukan cuma karena Agas yang tiba-tiba terima perjodohan itu, Bu ...."

Kia menatap Aksan lamat-lamat. "Tapi?"

"Tapi ...." Aksan tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. "Tapi, Ibu jangan cerita Ayah, ya. Kasian Agas kalau dimarahin Ayah juga. Kemarin dia udah dimarahin habis-habisan sama Mas Gava sama Naja."

"Emang Mas Gava bisa marah?" tanya Kia dengan gelak pelan terselip di sana.

"Nggak marah yang bentak-bentak gitu, sih. Tapi, cara ngomongnya yang serem. Dingin banget." Aksan bergidik, mengingat cara bicara sepupu tertuanya itu saat menasihati Agas tempo hari.

"Jadi ..., yang tadi itu apa? Kamu jadi mau cerita ke Ibu atau enggak?" todong Kia, mengingatkan keponakannya.

"Oh iya, lupa. Jadi, sebenernya yang bikin kami marah tu karena Agas suka sama cewek lain. Dan, dia udah nembak cewek itu. Emang belum diterima, sih. Tapi, tiba-tiba aja Agas nerima dijodohin sama Gienka. Kebayang nggak Bu, gimana perasaan cewek yang habis ditembak Agas itu?"

Ghrya Payoda ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang