Agas melangkah cepat menuju kursi paling ujung, lalu menyentuh pundak si empunya kursi dan sedikit memaksanya untuk duduk lagi. Pria itu mengunci gadis di depannya itu dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja dan kepala kursi. "Duduk dulu, gue mau ngomong."
Suasana kelas yang sudah kosong, membuat Agas lebih leluasa untuk melakukan apa saja.
"Gue mau pergi, Gas. Udah ditungguin Dena."
Tanpa menghiraukan ucapan si gadis, Agas mengambil ponsel dari sakunya dan langsung melakukan panggilan telepon. Gadis itu hanya diam menunggu sambil memperhatikan wajah pria di depannya.
"De, Gigi lagi sama gue. Tungguin bentar dulu, ya. Photoshoot-nya masih setengah jam lagi, kan? Gue mau bicara bentar sama dia."
" ... "
"Oke, thank you." Setelah menutup teleponnya, Agas kembali memusatkan atensinya pada gadis di depannya. "Udah cukup lo ngehindarin gue berhari-hari, Gi. Sekarang lo kasih tau gue, kenapa lo terus-terusan kayak gini?"
Gienka kelabakan ditembak begitu oleh Agas. Bola matanya bergerak tidak tenang dan akhirnya dia memililh untuk membuang muka, tidak mau menatap pria yang masih membungkuk di hadapannya itu. "Ngehindar apa, sih? Biasa aja gue."
Agas memegang satu pundak Gienka. "Gi, liat gue."
Mau tidak mau, Gienka kembali menoleh pada Agas. Deru jantungnya semakin tidak karuan, ditatap begitu intens oleh manik milik lelaki di depannya.
"Kalau gue ada salah, ngomong ke gue. Biar gue bisa minta maaf. Jangan diem kayak gini. Kenapa? Ngomong sama gue sekarang."
Gienka mengerjap beberapa kali. Dia kesulitan meneguk saliva karena mendadak tenggorokannya jadi kering.
"Lo marah soal interview gue di radio tempo hari?" tebak Agas, yang membuat mata Gienka membulat lebar. "Gi, sorry ..., gue-"
"Nggak usah minta maaf. Lo nggak salah."
Agas menggeleng. Dia kemudian duduk berlutut mensejajarkan mata mereka. Sorot mata Gienka pun turut mengikuti gerakannya. "Gue tetep minta maaf. Gue sama sekali nggak bermaksud buat nggak menganggap lo apa-apa. Lo temen baik gue. Tapi, maaf, gue nggak bisa lebih dari ini. Atau belum. Gue juga nggak tau-"
Gienka menggigit bibir bagian dalam, menahan sesuatu yang bergejolak di dadanya. Matanya mulai memanas saat Agas menggenggam tangannya.
"-Sekarang terserah lo, Gi. Lo masih mau temenan sama gue apa nggak. Gue-"
"Masih, kok!" potong Gienka cepat. "Gue masih mau temenan sama lo. Emangnya gue berharap apa sama lo? Kan, kita emang temenan dari dulu."
"Gi, tapi-"
"Udah, ya, Gas. Gue beneran udah kelamaan banget di sini. Gue udah janjian sama Dena sama Airin buat berangkat bareng ke gedung audit." Bertemu beberapa kali karena urusan pemotretan, Gienka akhirnya bisa lebih akrab dengan Dena dan Airin, serta para muse yang lainnya.
"Naik apa? Mau gue anter?"
"Nggak usah. Lo, kan, bawa motor. Mau jalan aja sama Dena sama Airin. Deket ini, sekalian jalan-jalan." Gienka memang melihat Agas datang naik motor tadi pagi.
"Yaudah, kalau gitu. Tapi, nanti gue jemput, ya."
Gienka tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Setelahnya, mereka pun berjalan bersama keluar gedung menemui Dena dan Airin di gerbang fakultas.
Agas masuk kembali ke parkiran motor setelah ketiga wanita itu menghilang dari pandangannya. Dia mengendarai motornya menuju gedung PKM.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghrya Payoda ✓ [Completed]
FanfictionSebuah cerita tentang riuhnya para bujang penghuni Ghrya Payoda, yang terkadang makin dibuat ramai oleh penghuni Ghrya Pawana. --- The sequel of Triptych. Bisa dibaca terpisah tanpa harus membaca Triptych terlebih dahulu. --- ⚠️Trigger warning ⚠️ Th...