50 | Kenapa, sih, Bun?

701 112 9
                                    

Ruang JCC dan ruang radio sama-sama berada di lantai dua gedung PKM dan hanya terpisah dua ruangan UKM lainnya. Hal itu jugalah yang membuat Naja dan Agas lumayan sering bertemu di gedung yang menjadi pusat berkegiatan para mahasiswa Neo di luar konteks perkuliahan.

Seperti yang terjadi sore ini, Naja dan Agas bertemu setelah sama-sama keluar dari ruangan kerja mereka masing-masing. Keduanya berniat pulang ke Payoda karena kegiatan mereka hari itu sudah selesai.

"Nggak sama Airin sama Hito, Ja?" tanya Agas saat mereka menuruni tangga.

"Mereka lagi ada kelas."

Agas ber-oh pendek dan tidak melanjutkan percakapan lagi. Percakapan mereka yang cukup serius saat ulang tahun Wisnu beberapa hari lalu tidak membuat hubungan keduanya renggang. Mereka sudah terbiasa untuk saling mengingatkan jika salah satu dari mereka agak melenceng.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu begitu sampai di lantai satu. Namun, langkah mereka terhenti saat nama mereka dipanggil oleh seseorang yang terdengar sedang menuju ke arah mereka.

Naja dan Agas memutar badan secara bersamaan untuk mencari tahu siapa yang memanggil. Nicko, salah satu anggota BEM, ternyata yang memanggil. Lelaki itu berlari kecil menghampiri mereka.

Dua tahun berkutat di PKM, membuat mereka mengenal sesama penghuni PKM meskipun bukan berasal dari jurusan atau fakultas yang sama.

"Kenapa, Nick?" tanya Naja begitu Nicko berdiri di hadapannya dan Agas.

"Itu ... anu ..." Napas Nicko tersengal akibat berlari mengejar Naja dan Agas. "Aksan sama Kai berantem."

"HAH?!" respons Naja dan Agas bersamaan.

"Gue tadinya mau nyusulin lo berdua di JCC sama radio, tapi ternyata kalian udah di sini. Itu ... saudara lo ribut di sekre. Nggak ada yang berani misahin."

Naja dan Agas pun bergegas menuju sekretariat BEM, tempat di mana Kai dan Aksan—yang katanya—bertengkar.

Memasuki ruang sekretariat, benar saja, Aksan dan Kai terlihat sedang berdebat hebat. Muka mereka merah tanda sedang emosi. Selain itu, ada tiga orang anggota BEM lainnya yang berada di sana—empat dengan Nicko.

"Kaisar! Aksan!" Teriakan Naja membuat kedua orang yang sedang berdebat itu seketika diam dan menoleh ke arah Naja. Begitu pun semua yang ada di ruang tersebut. Ruangan mendadak senyap. "Lo berdua ngapain, sih?!"

"Dia yang mulai duluan!" Aksan menunjuk Kai.

"Lo duluan!" balas Kai tidak terima.

"Diem!" Naja berteriak lagi. "Ada yang bisa jelasin mereka kenapa, nggak?" tanya Naja yang kini beralih ke para anggota BEM yang ada di ruangan itu.

"Awalnya cuma iseng bahas kandidat calon ketum BEM," jawab Nicko. "Terus Aksan nyeletuk, dia bakalan nraktir di kantin selama satu semester buat siapa aja yang dukung dia—"

"Gue bercanda doang," sahut Aksan dengan intonasi meninggi.

"Bercandaan lo nggak lucu! Itu namanya lo nyogok! Nggak fair!" Kai ikut menyahut.

"Sorry ...." Suara Agas akhirnya terdengar. "Yang lain boleh keluar dulu, nggak? Biar ini diselesaiin antar keluarga gue aja. Gue nggak bisa bawa mereka keluar, takutnya ada yang denger. Sorry banget."

Sesuai permintaan Agas, para anggota BEM yang tidak berkepentingan keluar dari ruangan tersebut. Naja dan Agas menghampiri Aksan dan Kai yang masih bersitegang.

"Lo berdua maunya apa, sih?! Kayak gini aja kudu adu bacot?!" cecar Naja tak kalah emosi. "Segitunya lo berdua pengin jadi kandidat calon ketum BEM, hah?"

Ghrya Payoda ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang