48 | Skyscraper

662 100 37
                                    

Suara riuh para mahasiswa yang berhamburan keluar dari kelas usai kuliah memenuhi gendang telinga Agas. Dia masih setia duduk di kursinya sambil mendengarkan nada sambung di ponselnya yang tak kunjung berhenti. Tak juga ada jawaban, Agas menjauhkan benda tersebut dari telinganya, lalu berdiri dari kursinya dan keluar dari kelas untuk menuju ke gedung PKM.

Setibanya di parkiran PKM, melalui Airpods yang dikenakannya, Agas mendengar ponselnya berdering. Setelah melepas helm, tanpa mengecek pemanggilnya, lelaki itu mengetuk dua kali salah satu Airpods-nya dengan maksud menerima panggilan tersebut.

"Halo?" jawab Agas sambil turun dari motor, kemudian berjalan memasuki gedung PKM.

"Halo, Gas. Tadi telepon? Sorry, gue nggak tau kalau ada telepon, hape-nya di tas."

Bahu Agas menurun ketika suara Gienka terdengar di sana. Entah kenapa rasanya lega. "Lo di mana? Kok, nggak kuliah?"

"Gue lagi di SG."

"Hm?" Kening Agas berkerut. "Kok, nggak bilang?"

"Gimana?"

"Ehem." Agas berdeham canggung. Dia sadar kalau dia terkesan posesif pada sahabatnya itu. "Maksudnya lo nggak cerita-cerita kalau mau ada rencana ke SG."

"Ooh, iya, gue mendadak. Mau jemput Nyokap."

"Udah pulang?" tanya Agas dengan intonasi meninggi, senang mendengar kabar tersebut. Dia bahkan sampai menghentikan langkahnya.

"Iya, Bokap minta rawat jalan aja di Jakarta."

"Syukurlah." Agas tersenyum kecil karenanya. "Terus sampe kapan lo di sana?"

"Besok gue udah balik, kok. Bokap sama adek gue udah ngurusin proses kepulangan Nyokap dari RS ternyata. Ini sekarang gue lagi di hotel."

Agas ber-oh panjang sambil manggut-manggut, walaupun Gienka tidak dapat melihatnya. "Yaudah, lo istirahat, gih. Gue juga mesti siaran."

"Iya."

"Oh, iya, tadi presensi lo udah gue tanda tanganin juga."

"Padahal gue nggak minta." Terdengar suara kekehan pelan dari Gienka di seberang sana. "But thank you anyway, Gas. Temen terbaik emang."

Agas diam sejenak dan senyum di bibirnya menghilang begitu saja. "He'em, sama-sama," jawabnya setelah beberapa detik diam. "Yaudah, gue tutup, ya."

"Oke."

Agas menghela napas panjang setelah panggilan teleponnya dengan Gienka terputus. Melihat jam besar yang tergantung di tengah hall gedung, Agas tersadar bahwa dia harus segera masuk ruang radio kalau tidak mau kena omel Mauve.

"Gas!"

Agas berhenti dan menoleh ke belakang saat seseorang memanggil sekaligus menepuk pundaknya. Sahabat sejak kecilnya, Kaisar Evan, ternyata pelakunya.

"Mau siaran?" tanya Kai, mensejajarkan dirinya dengan Agas, lalu mereka berdua pun berjalan beriringan.

Agas mengangguk sebagai jawaban. "Lo?"

"Ke sekre. Mau nyerahin berkas pencalonan," jawab Kai sambil menunjukkan map plastik berwarna kuning di tangannya.

"Jadi beneran lo nyalonin Ketum BEM?"

"Yoi!"

"Aksan juga?"

Kai mengangkat bahunya sekejap. "Kayaknya, sih. Gue belum ngobrol apa-apa sama dia perkara ini."

Agas hanya merespons dengan mengangguk-angguk.

"Oh iya, lo mau balik ke rumah kapan?" tanya Kai sambil menoleh sebentar pada Agas, lalu kembali fokus pada langkahnya yang menaiki tangga.

Ghrya Payoda ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang