—2 years later—
Suara riuh rendah dari beberapa mahasiswa yang sedang berkumpul terdengar memenuhi satu sudut di taman Fakultas Seni.
"Seneng banget! Akhirnya, kita semua udah kelar sidang," seru salah satu dari mereka.
"Iyaaa! Ah, tapi, sayang Gienka nggak bisa lulusan bareng kita," sahut yang lainnya.
Agas tersenyum tipis saat nama Gienka tiba-tiba disebut. Setelah sempat cuti kuliah, Gienka akhirnya memutuskan untuk keluar dari kampus Neo dan menetap di Singapura untuk menemani ibunya yang tak kunjung membaik kala itu. Dan, sekitar tiga bulan lalu, ibu Gienka meninggal dunia.
Saat ini, Agas dan teman-teman sekelasnya sedang merayakan keberhasilan mereka menyelesaikan tahap yang paling akhir dan tersulit selama masa kuliah, yaitu sidang skripsi. Selama seminggu ini, mereka bergantian menjalani sidang dan Agas mendapat jatah hari ini. Di hari dan sesi paling terakhir.
Setelah puas bercengkerama, satu per satu dari mereka undur diri setelah saling mengucapkan selamat. Sempat ada usulan untuk merayakan keberhasilan sidang mereka dengan makan-makan, tapi beberapa dari mereka menolak dan minta diganti hari lain saja karena hari ini sudah ada janji. Begitu pula dengan Agas yang sudah punya acara di Payoda bersama saudara dan teman-temannya.
Seorang gadis yang sedang duduk di salah satu bangku taman menarik perhatian Agas yang tadinya hendak pulang. Kening Agas berkerut samar dan akhirnya memutuskan untuk menghampiri gadis itu sebentar.
"Lee Jeno, jangan dihabisin semua makanannya! Bagi sama temen-temen kamu!"
Lipatan di dahi Agas semakin jelas kala mendengar gadis yang duduk membelakanginya itu berbicara sendiri. Begitu dia sudah berdiri di samping kursi tempat gadis itu duduk, dia bertanya, "Ra, lo ngomong sama siapa?"
Gadis itu—Nora—langsung menoleh dan kaget saat mengetahui Agas sudah berada di dekatnya. "Kak Agas? Ngapain di sini?"
"Ini taman fakultas gue, jadi wajar gue di sini. Yang nggak wajar tu lo ada di sini. Fakultas lo lumayan jauh dari sini."
"Oh iya, hhe." Nora nyengir lebar. "Gue lagi ngasih makan mereka."
Agas mengikuti arah tunjuk Nora, yang ternyata ada empat ekor anak kucing di sana. "Sampe sini?" tanya Agas heran.
Nora mengangguk. "Gue ketemunya di sini soalnya." Gadis itu mengamati pakaian Agas. Setelan kemeja putih dan celana panjang hitam, lengkap dengan jasnya. "Lo habis sidang, Kak?"
Agas mengangguk, lalu mendaratkan pantatnya di sebelah Nora dan mengambil salah satu kucing untuk dipangku. Sebagai pencinta kucing, dia juga tidak tahan untuk tidak ikut uyel-uyel jika bertemu dengan kucing-kucing menggemaskan seperti itu.
"Wah, selamat!" ucap Nora tulus sambil bertepuk tangan kecil. "Jadi, pengin cepet lulus juga, deh. Gue udah capek mikir," lanjutnya dengan bibir mencebik.
"Taun depan nggak lama, kok. And, thanks anyway," balas Agas tak kalah tulus. Nora balas mengangguk. "By the way, gue nggak tau kalau lo suka kucing."
"Gue suka kucing dari dulu, cuma dulu nggak ada waktu buat pay attention ke mereka. Eh salah, bukan nggak ada waktu, tapi nggak menyempatkan waktu karena sibuk kuliah sama nyari duit."
"Sekarang udah nggak sibuk kuliah sama nyari duit?"
"Masih, sih. Makin sibuk malah, tapi gue sekarang udah sadar kalau gue juga butuh waktu buat gue sendiri. Salah satunya ya main-main sama mereka."
Agas terdiam sambil mengamati Nora. Entah kapan terakhir kali mereka bertemu, Agas sudah lupa. Sepertinya, di hari terakhir dia siaran di Radio Neo.
Ah, bukan. Mereka bertemu terakhir kali saat ayah Nora meninggal sekitar satu setengah tahun yang lalu. Tapi, mereka tidak banyak berinteraksi saat itu karena Nora sibuk dengan para pelayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghrya Payoda ✓ [Completed]
FanfictionSebuah cerita tentang riuhnya para bujang penghuni Ghrya Payoda, yang terkadang makin dibuat ramai oleh penghuni Ghrya Pawana. --- The sequel of Triptych. Bisa dibaca terpisah tanpa harus membaca Triptych terlebih dahulu. --- ⚠️Trigger warning ⚠️ Th...