Jam menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit dini hari dan hujan sudah berhenti sekitar lima belas menit yang lalu. Keadaan di rumah tengah hutan saat ini sangat sepi—tentu saja, maksudnya sudah jelas karena letaknya berada di tengah hutan. Tapi bukan itu saja yang membuat keadaan menjadi sepi tapi karena Haechan dan Felix berada di satu ruangan yang sama.
Mereka sedang duduk menghadap jendela untuk melihat jika nanti ada musuh yang datang. Sebenarnya ini ulah Mark karena menyuruh mereka untuk menjadi partner di misi kali ini.
Suasana sangat canggung, setelah sering bertengkar saat berada dalam mobil beberapa tempo lalu, kini keduanya sama-sama diam.
"Gue mau nanyain sesuatu." Kata Haechan membuka pertanyaan.
Felix bahkan tidak menoleh, dia hanya bergumam sebagai tanda mempersilahkan Haechan menanyakan apapun itu. Walaupun Felix yakin jika kemungkinan pertanyaan Haechan akan menyebalkan.
"Kok lo bisa nemuin kita di penginapan itu?" Tanya Haechan.
Eh? Ternyata pertanyaannya jauh lebih normal daripada yang Felix perkirakan.
"Gue baca list hotel sama penginapan yang bakal kalian kunjungin waktu masih di villa." Jawabnya.
Haechan bisa langsung tahu ulah siapa itu. Chenle. Dia yang bertanggung jawab atas tempat yang akan mereka kunjungi waktu itu.
Suasana kembali hening. Felix sibuk melihat keluar jendela dan Haechan sibuk dengan apapun yang ada di pikirannya.
Tiba-tiba Haechan kembali berbicara. "Gue turut berduka cita tentang orang tua lo."
Felix tidak bisa menyembunyikan perubahan emosinya, walaupun begitu dia berusaha menutupi emosinya dan tersenyum. "Lo orang pertama yang ngucapin itu. Makasih." Katanya.
Haechan hanya mengangguk. Bisa dia bayangkan bagaimana beratnya kehilangan orang tua.
Suasana kembali hening diantara mereka berdua. Felix tidak berniat membuat suasana menjadi hangat dan Haechan sudah tidak punya lagi hal yang perlu dikatakan.
Disisi lain di dapur ada Renjun, Jeno dan Mark tampak sedang berunding.
"Rencana gue kita bikin portal di pintu depan. Jadi, mereka bakal langsung masuk ke portal begitu kita pancing ke dalem rumah." Jeno membuka pembicaraan.
"Gimana cara mancing mereka? Tiga-tiganya secara langsung?" Timpal Renjun.
"Kita harus provokasi dia. Menurut gue Renjun dan Jaemin orang yang tepat buat itu, secara kan kejadian yang lo tunjukin ke Jeongin di mimpi kayaknya udah cukup bikin dia emosi." Kata Mark.
Renjun setuju. Dia pikir memang harus dia yang menghadapi Jeongin, secara sepertinya Jeongin benar-benar membenci Renjun.
"Tapi sebenernya gue masih ragu apa memprovokasi dia di mimpi itu ide yang tepat? Maksudnya sekarang dia beneran murka dan gue gak yakin amarahnya itu bakal jadi keuntungan buat kita." Kata Jeno.
Renjun lagi-lagi setuju tapi, "Jeongin mungkin marah tapi dia juga sedih saat ini. Yang bisa gue lihat dia sayang sama kakaknya dan kita bisa manfaatin rasa sedih dan sayangnya itu buat nyerang dia."
Renjun tahu ini terdengar tidak berperikemanusiaan dengan menyerang titik lemah seseorang. Tapi, dia sendiri tidak yakin akan bisa mengalahkan Jeongin atau tidak jika tidak menggunakan cara ini. Apalagi Renjun jelas tahu tentang kemampuan memanipulasi pikiran yang dimiliki Jeongin.
"Renjun bener, lagipula kita menang jumlah dan kita juga punya rencana. Kita pasti berhasil." Jeno mendukung perkataan Renjun.
Mereka tidak yakin bisa menang tapi pikiran positif merupakan amunisi sebelum perang. Kita tidak bisa menang dengan pikiran buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[0.2] BAD DREAM | NCT DREAM ✓
FanficAt the end, he's never wake up from his nightmare. ©elsanursyafira, 2021