TIGA PULUH TUJUH | In This Universe, Ours Love Story Is My Favorite

282 28 12
                                    

"Gimana kalau kita dibunuh?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana kalau kita dibunuh?"

Dentuman musik yang keras saling beradu tempo bersama kerlap-kerlip lampu diskotik, bagi orang yang tak terbiasa, cahayanya cenderung bikin mata sakit. Ditengah sorot warna-warni yang menggoda, orang-orang menari liar mengikuti irama, bau alkohol dan rokok terus mencumbu hidung, bahaya. Sebab godaanya terasa lebih kuat saat segerombolan cewek-cewek telanjang terus mondari-mandir di tengah meja poker yang dipenuhi elite negara berdompet tebal. Buruknya ini seperti setengah dunia fatamorgana yang jatuh ke bumi, semua kenikmatan manusia terkumpul dalam satu ruangan lengkap bersama perwakilan dosa yang seolah diabaikan.

Dua pria bersetelan rapi membela kerumunan orang-orang yang tengah menari, mata mereka menyisiri meja poker. Ini gila! Semua yang duduk bermain judi adalah tokoh-tokoh penting di Indonesia baik dari kalangan pengusaha, politikus hingga selebriti. Sebaiknya pura-pura tidak tahu. "Buat apa kita dibunuh? Van Higell nggak sejahat itu."

"Tapi bos," pria yang wajahnya kelihatan lebih muda tampak gugup. "Aku dengar, Istrinya—— maksudnya nyonya Van Higell itu cukup gila."

"Bukan hanya dia, aku bisa katakan satu keluarga itu gila."

"Bosss, jangan gitu atuh! Makin takut, mana aku belum pulang kampung dua tahun. Kan nggak lucu kalau yang datang justru kabar kalau aku udah Inialillahi wa Inalillahi roziun."

Dikala sedang berjalan, mereka tiba-tiba dicegat seorang pria berbadan kekar, keduanya berhenti. Pria kekar itu memberi isyarat untuk ikut dengannya, tak ada penolakan. Mereka jalan bareng menaiki tangga, masuk ke area VVIP, makin banyak bodyguard berkeliaran disekitar kawasan, ngeri sekali sebab masing-masing dibekali pistol. Wajah mereka sangar, bikin si paling muda berkeringat dingin, berasa masuk ke adegan film action yang sedang terlibat perkara sama geng Mafia paling bahaya seantero dunia.

Tubuh mereka diperiksa dengan alat scaning, seluruh alat komunikasi disita, begitu dirasa aman. Barulah salah-satu bodyguard membuka pintu ruangan VVIP mempersilahkan masuk. Hal pertama yang mereka lihat saat melangkahi pintu adalah sosok nyonya besar Van Higell yang sedang duduk menyilangi kaki, cantik sekali perempuan itu. Rambut putihnya dibiarkan tergerai indah, kulit mulusnya tampak kontras dengan gaun merah seksi yang memamerkan belahanan dada, Gabriella Arne tersenyum simpul, menerima pematik api dari sekretarisnya yang sedang membakar ujung puntung rokok yang terjepit diantara bibir glosy super menggodanya.

Gabriel menghembuskan kepulan asap rokok memenuhi udara. Bersamaan dengan hal itu pintu kembali ditutup, lagi-lagi si paling muda dilanda rasa gugup berlebihan. Ini bencana! Sebab selain Gabriel yang duduk di tengah, bagian sofa kira dan kanan ditempati oleh 2 penerus Van Higell. Sang tertua Alfiander Gentara dan si bungsu Alferion Chakra.

Triangle Van Higell berkumpul dalam satu ruangan, ini momentum paling menegangkan dalam sejarah hidup siapapun.

"Welcome!" Gabriel menyapa dengan seulas senyum lebar. "Silahkan duduk, pak produser dan oh my god! I know who you are darling." Gabriel menunjuk pria si paling muda. "Kamu pasti perwakilan agensinya Laluna, Oh let's see, Ucup? Acep? Oh sorry my bad, Icip?"

Welnusa School: The Winter Found His ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang