PROLOG

1.1K 120 21
                                    

Samarinda

8 Januari 2015,

Jemima masih berumur sepuluh tahun ketika ia berada di sini. Berdiri mematung tanpa ekspresi, sambil mengamati orang-orang yang ada di pemakaman.

Ia sendirian. Berada paling belakang di antara para pelayat dan sesekali mencengkeram payung berwarna hitam yang ia pakai karena hujan sedari tadi tidak mau berhenti.

Lagi-lagi, Jemima mengedarkan pandangan ke segala arah, mengamati orang-orang itu yang menangis meraung-raung merasa kehilangan tapi kemudian Jemima menyeringai.

Entah sejak kapan ia mulai menyukai pemakaman. Mungkin ini terdengar gila ... namun suara tangisan itu, suara orang-orang yang sedang putus asa, pakaian serba hitam, serta keheningan penuh dengan air mata, adalah hal yang paling ia sukai sejak dulu.

Bahkan, Jemima tidak tahu siapa orang yang meninggal. Setiap hari Jemima mempunyai kebiasaan untuk menunggu di area perkuburan, dan ketika ada penggali kubur yang datang, Jemima merasa bersemangat dan selalu hadir di setiap pemakaman.

Aneh memang.

Tapi Jemima hanya merasa ... bahwa pada akhirnya, orang-orang merasakan apa yang pernah ia rasakan ketika dulu ia kehilangan orang tuanya dua tahun yang lalu. Dan ketika ia melihat orang-orang sedang putus asa dan menangis meraung-raung seperti itu, Jemima merasa bahwa dia tidak sendirian di dunia ini untuk merasakan apa yang dinamakan ...

Sepi.

Jemima kemudian mundur satu langkah. Mata mereka tertuju pada jenasah yang kini sudah diturunkan ke liang lahat. Pelan namun pasti, dia dikubur, menyisakan gundukan tanah kemudian di atasnya diberikan foto seseorang yang membuat Jemima terperangah.

Biasanya foto mendiang yang ia lihat adalah orang-orang yang sudah tua, namun ternyata tidak kali ini. Seorang laki-laki yang masih muda, tampan, tertera tanggal lahir jika dihitung masih berumur dua puluh tahun. Tapi sayang sekali dia mempunyai umur yang tidak panjang.

Entah dia meninggal karena apa, namun yang pasti ... semoga dia damai di surga.

Jemima menengadah ke atas langit-langit kemudian melepas payung yang ia pakai karena berniat ingin bermain dengan hujan.

Ia tersenyum. Malah menari di belakang para pelayat sambil menikmati hujan.

Ketika semuanya hampir usai, Jemima memutuskan untuk segera pergi dari sini sebelum orang-orang menyadari kehadirannya.

Tapi sebelum itu, ia menoleh lagi ke arah foto mendiang yang ada di atas gundukan tanah. Sedang tersenyum lebar, seperti menatap ke arah Jemima kemudian Jemima membaca nama yang terukir di sana.

Jacob Russell Briell

"Bye, Jacob." Seru Jemima.

"Aku hanya penasaran. Andai kamu tahu kalau umurmu tidak panjang, apa kamu bisa tersenyum lebar seperti itu?"

Jemima kemudian berbalik ketika mengucapkan seluruh kata itu, namun tiba-tiba, ada sebuah bayangan yang membuat Jemima terganggu. Ternyata bukan hanya dirinya yang mengamati orang-orang itu dari kejauhan, tapi ada sosok lain yang memakai hoodie  berwarna hitam yang juga mengamati pemakaman, berdiri mematung di bawah sebuah pohon di sudut sana.

Sosok itu menyedekapkan tangan. Ia memakai penutup kepala hingga Jemima mengerutkan kening. Tapi penutup kepala itu tidak menghalangi Jemima untuk melihat bibirnya menyeringai, bahkan kini seperti tertawa.

Tapi kemudian sosok itu mendongak.

Mata mereka bertemu selama beberapa detik.

Dan seketika itu juga, Jemima syok setengah mati.

PARALYZEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang