EPILOG

242 28 2
                                    

Satu bulan berselang, Jemima masih sering melamun ketika ia menatap rumahnya yang entah kenapa sekarang terasa hampa dan kosong. Ditatapnya figura yang ada di dinding rumahnya saat dia tersenyum lebar seperti itu bersama dengan Tante Sandra. Orang yang sangat ia sayangi, tapi ternyata telah mengkhianatinya habis-habisan.

Jemima menghampiri foto itu lalu menurunkannya. Membuangnya ke tong sampah lalu kembali menyeka air matanya.

"Sudah lah," Jacob datang lalu tiba-tiba menepuk bahunya. "Kamu masih memikirkan tantemu?"

Jemima menarik napas. "Jangan bahas itu lagi."

"Besok mulai persidangan lagi. Kamu harus datang."

"Sebenarnya aku sudah tidak sudi melihat wajahnya."

Jacob menepuk-nepuk bahu Jemima. Ia tahu semua ini pasti berat untuknya.

Mereka kemudian duduk di taman belakang rumah, mencecap kopi hangat buatan Jemima sambil menjernihkan pikiran mereka masing-masing.

"Setelah ini, apa rencanamu?" Tiba-tiba Jemima menatap ke arah Jacob. Setelah semuanya terbongkar, Jemima ingin tahu apa rencananya ke depan.

Alis Jacob terangkat. Tapi kemudian ia tertawa.

"Aku sudah mempunyai rencana cadangan, Jemima. Tenang lah. Kamu takut kalau aku terus-terusan jadi pengangguran setelah aku mengundurkan diri sebagai dosen?"

"Bukan itu maksudku."

"Ha ha ha."

Tiba-tiba Jacob mengeluarkan dokumen yang entah ia bawa dari mana. "Aku akan membuka kafetaria. Aku melihat banyak peluang di sini. Doakan aku sukses."

"Pasti. Walau kamu bukan benar-benar lulusan bisnis, aku tahu otak bisnismu berkembang."

Jacob terkekeh lagi. "Kamu sedang menghardikku?"

Kedua bahu Jemima terangkat tapi kemudian tertawa.

"Oh, ya. Katamu kamu sedang diinterogasi polisi kemarin setelah kamu mengaku bahwa kamu menciptakan tokoh fiksi bernama Benjamin?"

"Sudah selesai. Aku bilang pada mereka apa adanya. Kalau aku hanya menciptakan nama itu agar aku bisa melarikan diri dan melindungi diriku sendiri dari para pembunuh itu. Aku juga bilang bahwa aku hanya belajar bisnis secara otodidak untuk itu aku memilih menjadi dosen."

"Mengenai orang yang katamu meninggal saat dulu terjadi kebakaran. Bagaimana?"

"Itu yang aku serahkan pada polisi. Aku juga ingin mereka menyelidiki itu juga. Aku pun tidak tahu siapa orang yang menggantikan aku di pemakaman. Tiba-tiba saja orang-orang menganggapku bahwa yang meninggal adalah aku. Mungkin karena hal itu, aku jadi beruntung agar bisa melarikan diri. Tapi tetap saja, aku masih merasa aneh."

Jemima menarik napas dalam.

"Masih banyak misteri yang belum terpecahkan."

"Lalu, apa rencanamu, Jemima?"

"Aku tidak tahu." Jemima menjawab itu dengan enteng.

"Mengenai bisnis sepatu orang tuamu?"

"Aku terpaksa menggantikannya."

"Tidak apa-apa. Itu jerih payah orang tuamu yang wajib kamu teruskan."

Jemima kembali menarik napas.

"Setelah ini aku ingin meminta maaf kepada dokter Jerissa. Kamu tahu? Aku sempat mencurigainya. Tapi setelah aku mendengar semua rekaman yang Risma sadap, aku tahu dokter Jerissa tidak tahu apa-apa. Dia juga tertipu oleh Tante Sandra."

"Wajar saja jika tertipu. Polisi saja juga hampir tertipu. Tantemu sangat pintar mengubah semua bukti yang ada. Aku pun jika menjadi orang lain, pasti akan berpikir bahwa kamu memang gila. Caranya mengubah bukti dan merekayasa cctv sangat cantik."

Mereka kemudian terdiam begitu lama lagi. Menyesap kopi yang kini sudah menjadi dingin dan menerawang jauh pada langit-langit yang kini berubah gelap karena mendung.

"Jem?"

"Ya."

"Boleh aku memelukmu?"

Dahi Jemima mengernyit, tapi kemudian Jacob sudah berdiri dan meraih tubuh itu lalu memeluknya erat.

"Terima kasih ..."

Benjamin semakin mempererat tubuhnya pada Jemima. "Kalau saja tidak ada kamu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku."

Jemima membalas pelukan itu.

"Jadi, kapan aku akan kamu nikahi?"

Lagi-lagi Jacob terkekeh.

"Dulu, aku yang mengejarmu sampai mati, tapi sekarang kamu yang berubah menjadi agresif."

"Bukan kah itu janjimu?" Jemima kemudian mengeluarkan name tag bertuliskan nama 'Jacob Russel Briel' yang pernah Jacob berikan padanya bertahun-tahun lamanya.

"Aku tagih janjimu untuk menikahiku di umurku yang sudah ke delapan belas."

Jacob tertawa lagi sambil menatap Jemima dengan gemas. Tapi kemudian ia juga mengeluarkan name tag bertuliskan 'Jemima' dari saku celananya.

"Aku juga menagih janjimu untuk bisa membawamu untuk selalu pergi bersamaku dan selalu berada di sisimu."

Mereka tertawa di tengah-tengah hujan yang kini mulai turun dengan sangat deras. Tidak perduli bahwa tubuh mereka kini sudah basah kuyup karena tidak ada atap saat mereka duduk di tengah taman.

"Menikah lah denganku, Jema."

Dari saku celananya yang lain, kini Jacob mengeluarkan satu buah cincin untuk melamar Jemima.

Jemima tidak ingin membuang-buang waktu lagi, hatinya teramat bahagia mendengar Jacob yang ternyata menepati janjinya. Jemima mengangguk, dan detik itu juga Jacob kembali tersenyum dengan lebar.

"Aku mencintaimu, Jem."

"Aku juga."

Jacob berusaha meraih wajah Jemima untuk menciumnya, tapi tiba-tiba ...

"Jemima ...!"

Ada panggilan dari ruang depan, tiba-tiba Risma muncul dan memergoki mereka yang sedang berduaan hingga hujan-hujanan seperti itu.

"Astaga! Maafkan aku! Apa aku menganggu kalian?!" Teriak Risma yang langsung berlari pergi.

Mata Jacob dan Jemima saling tatap. Tapi buru-buru Jemima meninggalkan Jacob menahan malu.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Jacob.

"Aku pergi bersama Risma dulu. Aku lupa kalau aku sudah janji padanya untuk menemainya bersama Ramdhan. Katanya dia sudah tobat untuk tidak menyadap lagi untuk mendekatinya."

"Eh?"

Jacob berusaha ingin menahan Jemima, tapi Benjamin menggeleng.

"Kamu tahu kan aku sangat berhutang budi pada Risma. Kalau tidak karena keahlian dia, semuanya pasti tidak akan terbongkar."

Jacob menaikkan kedua alisnya. Tapi kemudian ia tertawa melihat calon istrinya yang sudah berlarian bersama dengan sahabatnya itu.

Mau bagaimana lagi? Walau dirinya akan menjadi seorang istri, tetap saja Jemima masih bertingkah seperti anak remaja seusianya.

Jacob tersenyum.

"Aku mencintaimu, Jema. Sampai kapan pun ..." ucapnya di tengah-tengah hujan ketika Jemima sudah pergi dari hadapannya.

TAMAT


PARALYZEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang