BAB 1 - HANYA HALUSINASI?

443 69 2
                                    

Jemima hanya mengetahui fakta bahwa ... Ayahnya tidak meninggal karena kecelakaan, dan Ibunya ... tidak meninggal karena serangan jantung. Satu-satunya kenyataan yang terpatri jelas di otaknya adalah, mereka ... meninggal karena dibunuh.

Sejak saat itu Jemima menjadi orang yang sangat tertutup. Memakai seragam putih merah tetapi tidak mempunyai teman sama sekali. Sering menyendiri di dalam kelas, jarang mengatakan apa pun, menyakiti dirinya sendiri, bahkan sering memukul temannya tanpa sebab.

Dan bagaimana teman-teman sebayanya mau berteman dengannya, ketika ada suatu masa, di mana salah satu murid mendapat kabar bahwa adiknya mati tenggelam, Jemima malah tersenyum menyeringai saat mendapatkan kabar itu sambil menatapi temannya yang sudah menangis meraung-raung.

"Ada yang tidak beres dengan keponakan anda ..."

Dan yang menyadari semua keanehan itu adalah guru Jemima sendiri. Ia kini duduk berdua dengan Sandra, adik kandung dari mendiang ibunya di sebuah ruangan bimbingan konseling dan menceritakan segala perangai Jemima selama ini.

Mendengar hal itu Sandra menangis. Tangannya ia remas berulang kali ketika ia teringat dengan keponakannya sendiri. Karena selama Jemima tinggal di rumahnya, Jemima memang sering menunjukkan hal-hal yang aneh.

"Maaf kalau saya lancang. Tapi sepertinya, Jemima memang membutuhkan terapi mental sebelum terlambat. Saya mempunyai kenalan psikolog anak jika anda mau memasukkan Jemima ke sana."

Sandra tertegun. Hal yang sama pernah ia rasakan sebelumnya.

"Jemima mengalami tekanan ketika orang tuanya meninggal kala itu. Bahkan para tetangga, sering takut dengan Jemima." Ucapnya sambil menyeka air matanya.

"Saya paham. Jemima masih mengalami tekanan yang luar biasa."

"Jemima sering berhalusinasi. Dia selalu mengatakan bahwa orang tuanya dibunuh padahal kepolisian sudah menyatakan bahwa itu murni ketidak sengajaan. Sering bercerita bahwa sebentar lagi dia hanya akan menunggu gilirannya untuk target pembunuhannya sendiri, dan bahkan, baru kemarin dia bercerita dia bertemu dengan orang yang sudah mati di pemakaman."

Guru yang ada di hadapannya itu mengangguk mengerti. Ia memegang tangan Sandra dan menggenggamnya erat. Seperti mengatakan bahwa, semua akan baik-baik saja.

"Jemima memang butuh konsultasi mengenai keadaan psikisnya."

"Mungkin, saya akan mengajak Jemima pindah ke luar kota. Agar dia tidak tertekan di kota kecil ini dan terus teringat dengan kedua orang tuanya.

"Saya akan mendukung segala keputusan baik anda. Apa pun yang terbaik untuk Jemima."

***

Lalu di sini lah Jemima berada. Di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Suasana jalanan terdengar begitu riuh, suara klakson, deru knalpot kendaraan, dan lautan manusia jauh lebih banyak dibandingkan dulu dia tinggal di kota kecil pinggiran Samarinda.

Mata Jemima menyipit ketika ia membuka jendela kaca. Dari lantai enam tempat ia berdiri saat ini, ia bahkan masih mendengar semua keriuhan itu.

"Selamat datang di kota Jakarta, Jemima."

Alis Jemima terangkat. Ia bahkan lupa kalau saat ini ia bersama dengan seorang perempuan. Ketika ia baru ingat, sosok itu sudah berdiri tepat di samping Jemima.

Dokter Jerissa. Seorang terapis dan juga seorang psikolog. Yang sengaja didaftarkan Tantenya dengan maksud untuk menyembuhkan Jemima dari rasa traumatiknya.

"Saya tidak gila," ucap Jemima tiba-tiba.

Tapi Jerissa tersenyum. Dia paham apa yang dipikirkan gadis kecil ini ketika dibawa ke sini.

PARALYZEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang