Luka Itu Nyata 0.7

22 3 1
                                    

SELAMA dua hari, Renjana bisa merasakan bebas yang cukup menyenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SELAMA dua hari, Renjana bisa merasakan bebas yang cukup menyenangkan. Suasana hatinya juga berangsur membaik karena tak melihat wujud dari seorang Neon. Nyatanya, tak bertegur sapa bahkan tak bertemu dengan sosok yang menjadi primadona di sekolahnya itu cukup menyenangkan.

Kini, separuh pikirannya terisi oleh seorang Nabastala yang entah mengapa sangat lucu. Jauh dari pikirannya, ternyata Nabastala adalah sosok yang asik dan menyenangkan walau sebenarnya juga menjengkelkan. Tidak tahu mengapa, di sela-sela waktu santainya, pikirannya selalu tertuju pada laki-laki yang baru ia kenal selama seminggu.

Renjana menutup buku soal latihan belajarnya malam ini. Kepalanya sudah memanas sejak dua jam lalu karena menghadap soal-soal yang menjengkelkan. Kalau tidak karena ambisi keluarganya, mungkin Renjana sudah akan menjual risol mayo keliling di sekolahnya, hitung-hitung belajar marketing.

Jam menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh. Setelah pulang sekolah, gadis itu langsung diminta belajar untuk ulangan mendatang dan baru berhenti saat ini. Gadis berusia 18 tahun itu bangkit dari tempat duduknya, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku hingga berbunyi "krek." Kemudian keluar kamar, bersiap makan bersama.

Di meja makan sudah tersedia berbagai menu makanan yang masih berasap, aroma masakan memenuhi ruang makan yang dominan dengan warna cokelat muda. Tepat pukul sembilan belas, Widya dan Dibyo datang di susul Neon yang berada di belakangnya. Sejenak, pemandangan itu menggambarkan sebuah keharmonisan, namun jauh di dalam sana, kehancuran itu senantiasa ada, menempel pada keturunan Wiratya.

-Jenggala-

SENYUM Renjana mendadak hilang saat Widya berbicara. Perasaannya yang sudah mendingan tadi berubah kembali menjadi masam.

"Pertemuannya diadain besok, di rumah Opa. Kalian berdua harus datang."

Renjana membuang napas kesal namun dengan tidak spontan. Masalahnya, hal ini pasti akan memicu sebuah pertengkaran antara dirinya dan Neon. Terlebih, di sana pasti akan ada ajang adu nasib dan acara saling membandingkan.

"Pakaiannya, besok Mama siapin. Tampil yang berwibawa dan sopan, terlebih kamu, Neon."

Neon mengangkat kepalanya, "Neon? Kenapa?"

Widya menghentikan kegiatan makannya, menatap putra kandungnya dengan saksama tanpa ekspresi yang berarti.

"Kamu pasti akan menjadi target perbincangan besok, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kamu tahu 'kan karena apa? Karena kamu nggak mau jadi dokter," kata Widya dingin.

Neon membalas tatapan tajam sang Mama, "Emang kenapa, Ma? Neon pengen jadi apa yang Neon mau," balasnya tajam, tak terima dengan perkataan yang baru saja keluar dari mulut Widya.

"Kamu mau jadi apa?! Pemain basket yang nggak a--"

"Neon mau jadi arsitek, Ma! Basket itu hobi Neon, kemauan Neon cuma mau jadi arsitek. Salah juga di mata Mama?"

Renjana yang melihat perdebatan itu meremas bajunya kuat-kuat. Energi di antara keduanya sama-sama suram. Kedua mata indah milik Neon memerah. Sebentar lagi, tangisnya akan runtuh.

"Apa kamu tidak bisa menuruti kemauan Mama dan Papa, Neon?! Semua sudah kami berikan untuk kamu. Mama dan Papa hanya mau kamu meneruskan profesi keluarga besar, nggak ada salahnya jadi dokter, itu pekerjaan mulia!"

"Tapi Neon, nggak mau, Ma! Neon nggak suka! Jadi tolong jangan paksa Neon buat jadi kayak apa yang Mama dan Papa mau, Neon bukan robot kalian!"

PLAK!

Dibyo menampar anak laki-lakinya dengan kencang. Neon tak bergeming, malah memejamkan matanya, menikmati setiap rasa sakit yang menjalar di pipi kanannya.

Neon terkekeh sembari mengelus pipi kanannya yang memerah. "Nggak Papa tambahin lagi?"

"Kam--"

"PAPA UDAH!" Renjana berteriak, menghentikan tindakan Dibyo yang ingin kembali menampar wajah Neon.

Neon kembali terkekeh kala melihat sang Ayah mampu mendengarkan suara Renjana. Tak dapat dipungkiri, hatinya sakit, sakit saat Renjana lebih didengarkan dibandingkan dirinya.

"Emang paling baik, anak Mama sama Papa itu Renjana, ya? Neon lebih baik mati aja mungkin? Supaya Mama sama Papa nggak malu." Lantas Neon terkekeh, berjalan mundur perlahan, meninggalkan ruang makan.

Dibyo memijit pelipisnya sedangkan Widya duduk terdiam. Bukan ini yang mereka harapkan dari makan malam kali ini. Bukan ini yang mereka mau.

"Anna, kamu masuk kamar, ya? Belajar lagi buat besok." Nada bicara Dibyo langsung berubah lebih lembut.

Neon yang masih mendengar itu tersenyum pias.

"Kalian lebih bahagia tanpa Neon."

-Jenggala-

BEBERAPA jam setelah pertengkaran di meja makan, Neon harus kembali menjalankan perintah kedua orang tuanya. Pergi ke acara keluarga, keluarga besar Wiratya. Serta, lagi-lagi Neon dan Renjana berada di satu mobil, duduk bersebelahan.

"Yon?" Renjana berniat memulai obrolan.

Neon menoleh, menaikkan sebelah alisnya.

"Maaf."

Entah sudah berapa kali Neon mendengar kata maaf. Ia bosan, kata maaf yang Renjana ucapkam tak akan merubah apapun.

"Maaf lo nggak ada gunanya, Ann."

Renjana menghembuskan napasnya lagi. Entah sudah berapa kali anak perempuan itu berusaha melunakkan hati saudaranya.

Mobil mereka pada akhirnya sampai di kediaman Wiratya. Sebuah rumah yang lumayan besar, milik Opa dan Oma mereka. Rumah itu tidaklah seperti mansion, hanya rumah yang ukurannya lebih besar.

Suara lembut Oma menyapa pendengaran mereka. Mereka yang berada di ruang keluarga itu salin berpelukan, menyalurkan rasa rindu yang telah lama terbelenggu. Lagi-lagi, Neon hanya bisa tersenyum miris. Keberadaannya seolah tak pernah ada, membuat pahatan luka baru di hatinya yang sebelumnya sudah terlukis banyak luka.

Sebelum acaranya dimulai, Neon segera beranjak ke teras rumah, menenangkan hatinya yang terluka dengan sempurna itu. Matanya menerawang jauh, kembali mengingat suatu memori yang indah, yang kini telah termakan keambisian.

Sejujurnya, dari dalam hatinya, Neon tak ingin menyalahkan seseorang pun. Namun, hatinya bertambah sakit jika ia mengakui hal itu. Rasa tersingkirkannya merebut kebaikan hatinya, membuatnya menjadi kasar dan bahkan terkadang sulit untuk bersimpati. Neon terlalu abu-abu untuk di tebak pemikirannya.

Neon terluka dan hanya dia sendiri yang tahu obatnya.

Next Chapter [8]

a/n

SOSOSOSOSOSO. MAKASIII BANGEET YANH UDAH SETIA BACA SAMPAI SEKARANG 💗💗💗

Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke DuniamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang