Sudah 2.1

16 1 0
                                    

RUMAH yang beberapa hari lalu terasa damai mulai kembali seperti dulu. Dari depan pintu yang sedikit terbuka, sepulang dari sekolah, Renjana kembali mendengar suara sang Papa yang meninggi dan penuh amarah.

Renjana enggan masuk ke dalam, ia memilih untuk menunggu di luar sampai suasana di dalam sana membaik. Namun, hal itu tampaknya tak akan terjadi ketika telinganya menangkap suara asing yang tiba-tiba menyebutkam namanya.

"Saya di sini hanya ingin mengambil Renjana seperti yang tertera di surat perjanjian yang telah anda setujui 15 tahun yang lalu, di atas materai dan dengan saksi yang masih hidup. Anda menyetujui hal itu, lantas mengapa ketika keluarga kami ingin mengambil Renjana, Anda menolaknya?"

Suara Dibyo terdengar berat, seperti ingin menangis, "Karen saya sangat menyayangi Renajana. Walau saya tahu, cara saya mendidik salah, namun saya hanya ingin Renjana tahu bahwa dunia tak pernah sebaik itu pada manusia. Saya menganggap Renjana anak saya sendiri, terlepas dari perlakuan bejat saja."

Renjana, kembali dibuat tak percaya dengan hidupnya. Serumit inikah?

Dengan perlahan, Renjana memberanikan diti untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah melihat Widya menangis di pelukan Neon yany matanya juga sudah memerah. Atmosfer di rumah itu kian berubah kala Soraya mendekat dan mendekap Renjana erat-erat. Renjana tak tahu harus merespon bagaimana. Bingung, terharu, sedih dan bahagia bercampur menjadi satu kesatuan.

"Maaf, maaf, saya baru bisa menjemput kamu, Renjana. Maaf sudah membuat kamu menderita selama beberapa tahun. Maaf karena kami tidak bisa merawat kamu. Maaf karena mamsa kecil kamu tidak tumbuh bersama keluarga kandung kamu."

Renjana mulai mengeluarkan air matanya. Tangisnya mulai pecah tatkala pelukan itu semakin mengerat. Pelukan yang benar-benar terasa hangat. Pelukan yang selama ini ingin sekali Renjana rasanya.

"Kita akan pergi bersama-sama, Renjana. Setelah ujian kamu selesai. Kita akan pergi. Kamu akan melanjutkan pendidikan kamu di sana. Saya akan tetap di Indonesia, untuk menjaga kamu."

Soraya melepas pelukannya. Tatapannya terasa lembut, senyum yang menghias wajah rupawannya juga tak kalah lembutnya. Diusapnya surai panjang Renjana dengan penuh kasih sayang. "Kamu cantik, seperti bunda kamu. Saya bahagia ketika mendengar bahwa Sonya melahirkan kamu di dunia."

Tatapan lembut itu beralih menuju Dibyo yang terdiam termangu. Tatapan lembut itu perlahan manajam. Suara tegas dari wanita muda itu seperti tak terbantahkan.

"Saya masih memberi kalian waktu untuk menghabiskan hari-hari kalian bersama dengan Renjana. Seusai pendidikan SMA-nya selesai, saya pastikan kalian tak dapat menganggu Renjana kembali. Jadi gunakan kesempatan yang saya berikan dengan baik, anggap saja, saya memberi kesempatan kepada kalian untuk mengobati luka hati Renjana."

-Jenggala-

BENAR adanya. Hari-hari berikutnya terasa begitu membahagiakan bagi Renjana. Rasanya seperti masuk ke dalam mimpi. Tak pernah terbayangkan, bahwa Renjana akan merasakan hal ini. Senyumnya tak pernah pudar. Kebahagiaannya terasa lengkap. Mengapa tak dari dulu ia merasakan hal seperti ini, Tuhan?  Mengapa ketika ia hendak pergi, semua baru terjadi?

Dalam suasana menyenangkan ketika berkumpul di ruang keluarga. Dibyo membawakan sebuah buku album kenangan berwarna hitam. Pria itu duduk di samping Renjana.  Memperlihatkan foto demi foto ketika ia kecil sampai dengan remaja.

Dibyo tersenyum lembut menatap putrinya. Perasaan bersalah merambat di hatinya. Sebentar lagi, ia akan kehilangan sosok anak kecil perempuan yang selama ini selalu menjadi penyemangatnya dalam bekerja. 

"Papa selalu sayang sama kamu,  Ann. Papa nggak pernah benci sama kamu. Cara Papa mendidik memang tidak baik, Papa mengakui hal itu. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, bahwa Papa melakukan semua itu supaya kamu menjadi perempuan yang kuat.  Maafkan Papa, ya? Janji sama Papa, kamu akan selalu bahagia dengan keluarga kandung kamu."

Renjana tak dapat menahan tangisnya lagi.  Air mata Renjana mengucur deras.  Isak tangisnya mulai terdengar, bersamaan dengan isak tangis Mama yang ikut pecah di saat itu juga.

Kenapa baru sekarang ia merasakan kehangatan keluarga,  Tuhan?

Hari itu, mereka berkumpul layaknya keluarga pada umumnya. Saling melempar tawa dan canda tanpa memikirkan bahwa esok dan seterusnya mereka akan berbeda dan takkan bersama.

Ketika semua luka mulai menemukan obatnya. Dan ketika itulah, akan mulai menemukan sembuhnya.

-Jenggala-

WAKTU dengan cepat berlalu. Dengan pakaian kebaya birunya, Renjana berjalan dengan penuh percaya diri untuk mengambil tropi serta buku rekap nilai SMA miliknya. Senyum gadis itu tak pudar setidaknya sampai acara berakhir.

Nyatanya, Nabastala tak ikut andil dalam masa pelepasan masa remajanya di SMA. Namun, itu bukan lagi sebuah masalah. Sepulang dari acara kelulusan, Renjana harus mulai mempersiapkan semuanya untuk keberangkatannya esok hari. Mau tak mau, sanggup tak sanggup, Renjana harus kembali.

Pukul tujuh malam, Renjana telah usai mempersiapkan segalanya. Direbahkannya tubuhnya pada kasur kesayangannya yang dalam beberapa jam kedepan akan ia tinggalkan. Ruangan yang cukup luas itu hanya menyisakan beberapa novel dan figura-figura yang memang tak boleh dibawa pergi oleh Widya dan Dibya. Mereka benar-benar membuat Renjana merasakan bahagia di hari terakhirnya.

Pintu terbuka dari luar, memunculkan sosok Neon yang tersenyum lembut ke arahnya dan mulai duduk di sampinya.

"Udah mau ninggalin gue, ya? Hehe." Neon tertawa garing, sungguh tak ada unsur humor di dalamnya.

"Maaf ya, Ann kalau gue selalu jahat dan nggak terima sama lo. Maaf kalau gue suka buat lo sakit hati. Maaf, maaf udah buat lo nangis tiap malamnya. Janji sama gue, lo bahagia ya di sana? Kalau gue udah sukses nanti. Gue bakal samperin lo buat liburan bareng." Neon memeluk Renjana dengan erat, "Gue sayang sama lo, An. Maaf belum bisa jadi kakak yang baik buat lo. Bahagia selalu, ya?"

Renjana menangis lagi, dalam pelukan Neon, Renjana mengangguk, "Lo juga harus bahagia ya, Yon? Makasih udah jadi Kakak yang menyebalkan buat gue. Jujur, gue sayang banget sama lo. Makasih buat waktunya."

Malam itu, adalah malam terakhir bagi mereka untuk memandang dan merengkuh Renjana dan jiwanya yang rapuh. Malam itu adalah malam penuh air mata dan kata. Seribu kata maaf dan sayang terlontar di singkatnya malam. Menyisakan haru yang masih terbelenggu meski gelap malam telah berlalu.

Renjana kembali ke tempatnya dengan rasa haru. Senyumnya akan senantiasa terlukis di wajah rupawannya. Lukanya sudah hampir sembuh, tak apa-apa. Lukanya sudah pulih, berkat Mama, Papa dan Neon atau bahkan, Elmanuel dan Nabastala?

Hampir usai....

Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke DuniamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang