SEMESTA kembali membuat Renjana meneteskan pilunya. Dibyo benar-benar tak main-main dengan ucapannya kala itu. Membuat perhitungan yang lebih jahat dari sebelumnya.
Segala ucapan ampun tak dapat melunakkan hati Dibyo yang keras. Sedangkan Widya hanya memerhatikan tanpa berniat menghentikan. Neon, laki-laki baik hati yang akhirnya berubah itu juga tak dapat membantunya. Ia memilih pergi. Tangisnya yang deras juga bukan apa-apa. Beberapa cambukan dan tamparan juga menjadi makanannya malam ini.
Dukanya.
Sakitnya.
Pilunya.
Tak berarti apa-apa.
Dalam sunyinya malam. Pukul sembilan, Renjana memutuskan untuk keluar, menghilang sejenak dari rumah besar penuh kekejaman itu. Tubuhnya yang berlukiskan abstrak ia tutup dengan sweater kebesaran miliknya. Rambutnya ia gerai guna menutupi wajahnya yang terlihat begitu menggenaskan.
Ia laki-laki berhenti di sebuah taman yang dipenuhi oleh lampu-lampu cantik. Ada beberapa orang di sana, dan Renjana memilih duduk di bangku panjang yang menghadap ke jalanan yang sudah rehat dari kesibukkannya. Kembali menumpahankan duka dalam untaian tangis yang mendera.
Sebuah sentuhan hangat terasa di permukaan tangannya. Renjana mendongak, menangis semakin keras.
"Nggak apa-apa, nangis aja. Nggak apa-apa beneran."
Renjana menundukkan kepalanya. Kembali menangis dengan alunan yang menyayat hati. Nabastala masih berjongkong sambil menggenggam tangan Renjana erat-erat. Mengelus kepalanya dengan lembut.
Dengan penuh kesabaran, Nabastala masih setia menemani Renjana di sela-sela tangisnya. Membiarkan gadis itu menumpahkan sesaknya dalam tangis yang makin menyayat hati. Tanpa sengaja melihat tanda kemerahan di pipi gadis itu. Tangan Nabastala menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu. Tatapan kaget terlihat begitu ketara dari kedua matanya.
"Renjana? Lo?"
Renjana mengeleng, dipeluknya erat tubuh Nabastala saat itu, "Sakit, Bas. Sakit, gue nggak bisa, nggak bisa."
Nabastala membalas pelukan Renjana, membawanya pada tempat terhangatnya. Mengelus punggung perempuan itu dengan pelan. "Lo bisa, Renjana. Gue yakin lo bisa."
Hati Renjana begitu terhimpit oleh perasaan memuakkan yang membuatnya ingin enyah dari peradaban. Setiap tetes air matanya seolah tak akan ada gunanya. Tak ada empati yang ia dapatkan dari keluarganya.
Sedangkan Nabastala, mencoba membuat Renjana kembali ke daratan. Membiarkan gadis itu tenggelam di laut kesedihan sama saja membiarkannya jatuh ke jurang kematian. Nabastala mencoba melupakan masalahnya. Renjana, gadis itu terlihat jauh lebih kacau dibandingkan dirinya.
Nabastala tak bisa melihat perempuan menangis. Lirihan atau bahkan isakkan selalu dapat meluluhkan sisi empatinya. Perempuan itu tak pantas untuk terluka, mereka harus bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke Duniamu
Teen FictionHubungan antara Renjana dan keluarganya jauh dari baik. Kedua orang tua angkatnya sangat sibuk dengan urusan masing-masing tetapi masih sangat aktif untuk memaksakan kehendak pada Renjana. Meminta Renjana untuk bisa masuk ke dalam universitas terbai...