INDAHNYA rembulan kala malam tak menjamin indahnya sebuah hubungan. Denting sendok dan garpu mengiringi makan malam yang rasanya mencekam. Makanan lezat yang disajikan di atas meja seakan hambar, termakan oleh sunyinya hubungan.
Makanan yang tadinya sangat berasap itu perlahan mendingin karena sudah tak tersentuh. Sebuah dentingan keras terdengar, membuat atensi beralih pada sosok pria dengab postur tubuh yang masih bagus.
"Les kamu Papa tambah, Renjana."
Renjana menghentikan kegiatan makannya. Selalu saja.
Selalu saja seenaknya.
"Iya, Pa."
Dan selalu saja Renjana harus menurutinya. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak berani membantah atau menentang kemauan kedua orang tuanya.
"Gimana nilai kamu akhir-akhir ini, Anna? Papa sama Mama belum diberi rekapan nilai sama guru kamu." Dibyo kali ini bertanya, tetap dengan nada tajam dan terkesan dingin.
Renjana membuang napasnya, "Baik, Pa. Pelajaran olah raga Anna doang yang sedikit jelek."
Widya dan Dibyo mengangguk, "Berapa memangnya? Tidak di bawah 80 'kan?"
"81, Pa, Ma."
Selanjutnya hening, Renjana bernapas lega, hal itu ternyata bukan menjadi suatu masalah.
Neon hanya terdiam, sudah biasa tak dipedulikan. Ia hanya menikmati hidangan yang disajikan, dengan tenang dan tanpa suara. Sampai ia memiliki pikiran untuk menyampaikan sesuatu.
"Neon menang turnamen, Pa, Ma."
Nyatanya, masih terasa hening. Tak ada suara seakan-akan Neon tak pernah mengucapkan apa-apa. Laki-laki yang dua bulan lebih tua dari Renjana menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat sendok. Dadanya sesak.
Mereka masih tak memberikan tanggapan, Neon membuang napasnya kasar kemudian bangkit menghasilkan decitan kursi di ruang makan yang terlihat mewah itu. Melangkah pergi membiarkan waktu makan malamnya itu habis.
"Harusnya kamu rajin belajar, bukan malah turnamen yang membuang waktu. Sekali saja, kamu contoh Anna, dia jadi anak yang penurut."
Dan selalu saja, segala pencapaiannya tak pernah diapresiasi oleh kedua orang tuanya.
-Jenggala-
Song: I Hope to Be Happy (Hyungjoo Lim)
TAK pernah sekalipun Neon menikmati hari-harinya. Seolah sama saja, hari-hari yang ia lalui itu sama saja, membuatnya tak pernah merasa bahagia. Ia mematikan ponselnya, berhenti melihat foto teman-temannya yang memamerkan piagam turnamen kepada orang tuanya. Kapan ia akan seperti mereka?
Saat turnamen, hampir sebagian orang tua dari teman satu timnya ikut menonton, tapi Neon? Ia hanya ditemani sepi. Tidak ada yang menyambutnya saat turnamen selesai. Walaupun namanya diucapkan dengan begitu kerasnya, namun hal itu tidaklah cukup untuknya. Neon hanya ingin orang tuanya tahu bahwa basket adalah hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke Duniamu
Teen FictionHubungan antara Renjana dan keluarganya jauh dari baik. Kedua orang tua angkatnya sangat sibuk dengan urusan masing-masing tetapi masih sangat aktif untuk memaksakan kehendak pada Renjana. Meminta Renjana untuk bisa masuk ke dalam universitas terbai...