LAGI-lagi, sebuah acara mingguan rutin saat malam hari kembali diadakan. Makan malam keluarga, tentunya hal itu cukup memakan tenaga bagi Renjana. Karena apapun yang dibahas di sana, membuatnya harus berhadapan dengan suatu masalah baru. Di saat makan malam dijadikan sebagai cara pendekatan, maka berbeda dengan keluarga Wiratya. Makan malam dijadikan suatu kerusakan awal sebelum rusak secara keseluruhan.
Detik jam terdengar bersahut-sahutan dengan dentik sendok dan garpu. Cahaya lampu putih turut menyorot kepulan asap sedap dari makanan yang baru beberapa menit lalu disajikan. Lampu gantung yang digantung cantik itu juga menyorot raut wajah dua orang dewasa yang duduk bersebelahan.
Renjana tahu masalah apa yang akan dibahas. Dua hari yang lalu, ia menerima telepon dari sang Mama. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui masalah apa yang akan disampaikan oleh Widya dan Dibyo.
"Kamu tidak mau menjelaskan apapun pada kami, Renjana?"
Suara Dibyo yang kelewat datar dan tenang itu menguasai atmosfer dalam ruangan dengan aroma yang penuh kelezatan itu. Renjana diam, tak bergeming. Masih dengan posisi memegang sendok dan garpu. Keadaan berubah mencekam, aura yang dihasilkan dari keduanya sama-sama mencekam.
"Perlu saya ulang? Kamu tidak mau mejelaskan apapun?" Dibyo kembali mengeluarkan suaranya. Kembali bertanya dan mengintimidasi Renjana.
"Nilai Renjana turun, Pa."
BRAK!
"Kenapa bisa?" Dibyo mulai memunculkan raut murkanya.
"Saya dan Mama kamu sudah menghabiskan banyak uang untuk biaya les kamu, dan nilai kamu turun? Turunnya cukup drastis, dari 90 kenapa bisa sampai 86? Kerjaan kamu ngapain sampai bisa kayak gini?! Jelasin ke saya, kenapa bisa?!"
Renjana masih dalam posisi diamnya, begitu pula dengan Neon yang berada tepat di sampingnya. Mereka berdua sama-sama terdiam dengan pikiran riuh masing-masing.
"Kalau kamu tidak bisa menjawab, saya terpaksa tambah jam belajar kamu. Kedokteran bukan untuk kamu yang bodoh, Renjana."
-Jenggala-
TANGISAN pelan mulai terdengar, suara jangkrik dan angin yang berhembus turut menambah kesan kesedihan yang dirasakan oleh Renjana. Ya, gadis itu menangis dalam diamnya, di sela-sela bantal dan guling, ia menangis tanpa suara.
Tak peduli dengan mata yang sembab esok pagi, Renjana benar-benar lelah dengan hidupnya. Tangisnya pun tak akan bisa menggambarkan seberapa lelahnya dirinya untuk menghadapi ambisi keluarganya sendiri.
Dengan mata yang masih menangis, tangan mungilnya yang bergetar meraih ponsel yang berada tepat di sampingnya. Matanya menyipit kala cahaya pada ponselnya itu kelewat terang. Tangannya membuka satu notifikasi yang membuatnya penasaran, dari Nabastala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke Duniamu
Teen FictionHubungan antara Renjana dan keluarganya jauh dari baik. Kedua orang tua angkatnya sangat sibuk dengan urusan masing-masing tetapi masih sangat aktif untuk memaksakan kehendak pada Renjana. Meminta Renjana untuk bisa masuk ke dalam universitas terbai...