PUPIL mata Renjana melebar kala ia melihat seekor kucing kecil abu-abu yang sedang berjalan di pinggiran jalan. Dengan pekikan kecil, Renjana menghampiri kucing yang tampaknya bertuan itu.
Renjana membopong kucing kecil itu. "Aaaaaa kamu lucu bangeeet," ucapnya sambil memainkan kucing tersebut.
Kucing itu hanya mengeong, sambil sesekali mendusel pada ceruk leher Renjana. Ia baru kali ini melihat kucing abu-abu itu di area perumahannya, biasanya kucing bernama Bobo atau Sendy yang sering berkeliaran di depan rumahnya.
"Nama kamu siapa, meng? What your name?"
Meoong.
Renjana, gadis itu memang menyukai hewan berbulu sepertu kucing. Namun, sayangnya gadis itu tak diperbolehkan untuk memelihara hewan lucu itu karena saudara tirinya (Neon) memiliki alergi pada bulu kucing. Menyebalkan bukan?
Renjana menoleh ke belakang saat mendengar suara dari balik gerbang besi yang bercelah.
"Non, Non Anna harus masuk. Guru lesnya Non Anna sudah datang sepuluh menit lalu." Pak Hari-salah satu asistennya di rumah memberi tahu.
Renjana membuang napas lelah, "Sebentar lagi saya masuk, duluan aja."
Pak Hari mengangguk, kemudian pergi dari gerbang.
"Aelah, gue tinggal dulu ya-"
"What are you doing with my cat?"
Renjana menoleh kqget, "Is this your cat?"
"You think?"
Renjana lantas memberikan kucing abu-abu itu pada laki-laki yang sempat ia temui di Cafe Victoria hari itu. "Gue nggak tau kalau itu kucing lo."
Laki-laki itu menerima kucing kecil itu kemudian memeluknya, berusaha melindungi kucing kecil itu dari segala mara bahaya.
"Lo cewek yang numpahin teh di sepatu gue, 'kan?"
Renjana mendesis dalam hati, kenapa masih inget? Pikirnya.
"Nggak mau tanggung jawab?" Laki-laki itu bertanya dengan tatapan mata yang sedikit tajam, membuat Renjana merasa terpojokkan.
Dengan keberanian yang tersisa, ia membalas tatapan mata milik laki-laki itu, "Gue udah ngasih lo uang, nggak cukup?"
Kekehan ringan lolos begitu saja dari bibir ranum sosok jangkung yang ada di hadapan Renjana. "I told you that I don't need your money, honey..."
"... I need your phone number."
Renjana menelan ludahnya kasar. Senyum tipis yang laki-laki itu keluarkan membuatnya sedikit terbius. Manis dan tegas di saat yang bersamaan.
Laki-laki itu memberikan sebuah amplop putih panjang kepadanya.
"Here is your money. I don't need it. a man will not ask a woman for money."
Renjana menerima uangnya kembali. Ia tahu betul bahwa ego seorang laki-laki akan tetsentil jika menyangkut dengan uang.
"Uang gue cukup buat beli sepatu baru. Tapi yang gue butuhin bukan itu. Gue mau lo bertanggung jawab atas apa yang lo lakuin, enggak semua hal itu bisa lo atasi dengan uang, Nona Wiratya."
Kalimat yang baru saja dilontarkan mampu membuat Renjana menyadari kesalahannya. Uang belum tentu menyelesaikan masalah.
"Maaf." Pada akhirnya, kata itu terucap dengan nada yang berbeda.
"Kasih gue nomor ponsel lo. Gue nggak ada cukup waktu buat ngomong di sini."
Ia masih keukeuh meminta nomor ponsel seorang Renjana. Nada bicaranya juga terdengan serius, tidak ada yang janggal dari nada bicaranya.
"Nggak akan gur buat aneh-aneh apalagi buat daftar pinjol."
Mau tak mau, Renjana memberikan 12 digit angka kepadanya. Bukan nomor sedot WC atau kurir, itu benar-benar nomor ponselnya.
"Thanks, girl. Gue duluan, see you."
Renjana hanya berdiri dengan pandangan mata memandang sosok laki-laki itu. Aroma maskulinnya masih tercium. Ia tak tahu, siapa nama laki-laki yang wibawanya saat terasa itu. Ia juga tak mengenal tatapan mata yang tajam bak elang yang sedang mencari mangsa di hutan rimba. Ia juga tak mengerti mengapa senyum tipisnya bisa semanis gula. Namun, satu hal yang Renjana tahu, bahwa laki-laki itu cukup berbeda dengan laki-laki yang pernah ia temui sebelumnya.
-Jenggala-
RENJANA merebahkan dirinya di atas kasurnya yang empuk setelah 3 jam berkutat dengan buku-buku latihan soal yang membuatnya pusing tujuh keliling. Meski ini bukan kali pertama, namun tetap saja dirinya tak terbiasa dengan segala tekanan yang diberikan oleh keluarganya.
Sekarang jam hampir menunjukkan pukul tujuh, tandanya, sebentar lagi ia akan dipanggil untuk makan malam bersama keluarnya. Masih ada sekitar 10 menit untuknya merebahkan tubuh, ponselnya masih dalam keadaan mati--ponsel tidak boleh dimainkan saat belajar bersama guru pribadinya.
Matanya terpejam, mencoba menghilangkan segala rasa penat yang ia rasakan. Harusnya ia bisa terbiasa dengan ini semua bukan? Namun, bukannya terbiasa, ia justru merasa muak.
Ketukan pintu mulai terdengar dan itu membawa angin segar untuknya. Mama dan Papanya masih ada urusan bisnis, sedangkan Neon sedang turnamen basket. Makan malam bersama ditiadakan, hal itu adalah sebuah kebahagiaan baginya.
Nampan berisi berbagai macam makanan yang pantas dihidangkan saat malam hari ada di depan matanya. Ia bisa menikmati makanannya tanpa ada rasa janggal yang menggerogoti hati.
Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam laci nakas, menyalakannya dan mendiamkannya beberapa saat agar semua pesan masuk ke dalam ponselnya. Sekitar 3 menit menunggu, ia mulai menjelajahi aplikasi hijau. Menemukan satu pesan yang mengingatkannya pada satu sosok di sore hari tadi.
+62 875 9632 332
Hai, gue Nabastala, yg tdi minta nomor lo. Renjana kan?Pesan itu masuk dua jam yang lalu. Renjana belum berniat membalasnya. Lagipula, laki-laki itu masih dalam keadaan offline dan terakhir online setengah jam yang lalu.
Namun, saat masih berada di room chat, status bar laki-laki itu memunculkan tulisan online yang kemudian berubah menjadi typing. Renjana dengan tergesa keluar dari room chatnya.
+62 875 9632 332
Gue anggp jawaban lo itu ya. Slkn, An.Kali ini, Renjana memilih membalas pesannya.
Renjana
Salken. Bastala.NEXT CHAPTER [4]
a/n
Terima kasih sekali buat kalian yang sudah mampir di lapak aku💗💗
Jangan lupa vote dan commentnya yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenggala: Bawa Aku Masuk Ke Duniamu
Teen FictionHubungan antara Renjana dan keluarganya jauh dari baik. Kedua orang tua angkatnya sangat sibuk dengan urusan masing-masing tetapi masih sangat aktif untuk memaksakan kehendak pada Renjana. Meminta Renjana untuk bisa masuk ke dalam universitas terbai...