Bab 50

753 72 16
                                    

Jungkook POV

Aku berjalan ke dalam rumah tanpa tujuan dan baru saja akan mengambil langkah pertamaku ke tangga ketika aku mendengar suara. Aku mengikuti sumber suara dan hampir sampai ke ruang tamu, aku melihat bayangan. Itu membuatku semakin penasaran jadi aku mempercepat langkahku. Begitu sampai di pintu, aku hanya berdiri saat melihat hal yang tidak terduga di depanku.

Selangkah demi selangkah, aku masuk dan mengalihkan tatapanku dari layar tv besar ke pria di sofa.

"Kamu nonton film?" tanyaku dengan bingung.

Dia tidak menatap ke arahku saat mengatakan, "aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan jadi ... aku mencoba saranmu."

"Benarkah?!" Aku tidak bisa menahan kegembiraanku.

"Mau ... bergabung denganku?"  Pertanyaannya membuatku kembali terkejut.

Senyum terus tersungging di bibirku.

"Ya," aku menjawab dan tepat ketika aku akan duduk, pakaianku mengingatkanku bahwa aku baru saja pulang.

"Aku akan kembali. Aku akan memakai pakaian yang lebih nyaman." Setelah itu, aku bergegas meninggalkan ruang tamu dan menaiki tangga.

***

Taehyung POV

Aku gugup. Kami duduk di sofa yang sama dan dia tidak ragu untuk tertawa atau tersenyum. Dia terlihat nyaman dengan kakinya di atas sofa juga. Sepertinya hanya aku yang gugup.

Aku mencoba. Aku benar-benar mencoba untuk berkonsentrasi pada film tapi tidak bisa. Aku bahkan tidak tahu judul filmnya. Aku meminta pelayan menyalakan televisi dan memutar film yang bagus. Aku tidak menanyakan judul atau plotnya. Aku hanya ingin Jungkook tahu bahwa aku membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.

Aku hanya bisa mencuri pandang ke arahnya. Begitu mata kami bertemu, dia menyodorkan semangkuk popcorn kepadaku.

"Mau?"

Aku segera menggelengkan kepalaku dan dia mengedikkan bahunya, lalu menarik mangkuk.

Keheningan kembali menyelimuti. Dia tidak tersenyum atau tertawa. Matanya terbuka, seolah terpaku pada televisi tapi tanpa ekspresi. Mau tak mau aku bertanya-tanya apakah aspek komedi dari film itu sudah berakhir.

Selama beberapa saat, dia tidak melakukan apa-apa. Aku ingin bertanya apakah dia baik-baik saja tapi tidak bisa.

"Menurutmu apa yang akan terjadi pada kita dalam dua tahun ke depan?" Dia tiba-tiba bertanya dan menatap ke arahku.

Dua tahun ke depan ... aku tidak pernah memikirkannya.

"Menurutmu ... apa mungkin hubungan kita bisa menjadi lebih dari ini?"

Aku terdiam. Sejujurnya, aku tidak punya jawaban untuk pertanyaannya. Aku tidak tahu apakah aku harus menjawabnya.

Aku mengalihkan pandanganku darinya.

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah ... berpikir begitu."

Segalanya sempurna saat ini, tapi aku tidak yakin apakah aku siap untuk mencoba sesuatu yang baru. Aku tidak punya bukti untuk percaya bahwa sebuah hubungan adalah hal yang baik dalam hidupku.

"Aku mengerti," katanya dengan suara yang rendah sehingga aku terpaksa menatapnya. Dia sudah membuang muka.

"Aku lelah. Aku mau tidur. Selamat malam," katanya saat dia berdiri dan tanpa melirikku, dia berbalik.

Aku larut dalam kekacauan. Tanganku mengepal kuat. Aku merasa harus mengejarnya tapi ... aku tidak bisa menjelaskannya. Aku merasa benar-benar tidak berdaya.

***

Jungkook POV

Dalam kesunyian dan kegelapan malam, aku menangis tanpa henti. Dengan perlahan, aku duduk dan memusatkan pandanganku ke pintu. Kenapa dia belum datang?

Helaan napas lolos dari bibirku. Walaupun kedengarannya konyol, aku sangat berharap dia mengikutiku atau setidaknya menunjukkan minat. Sekali lagi, aku salah.

Aku mengusap wajahku. Aku benci menjadi seperti ini. Aku selalu berkata pada diri sendiri bahwa aku tidak akan pernah menangisi seorang pria, namun aku melakukannya. Aku berubah menjadi orang yang bukan diriku. Aku benci berada dalam situasi ini. Aku berbeda. Aku tidak ingin menangisi cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Aku duduk, tatapanku tidak pernah lepas dari pintu, hatiku mengharapkan dia untuk masuk. Aku butuh konfirmasi.

***

Taehyung POV

Mataku perlahan terbuka. Untuk sesaat, sekelilingku terasa asing, tapi saat aku duduk, semuanya menjadi jelas. Aku masih berada di ruang tamu. Aku pasti tertidur di tengah semua kekacauan pikiranku. Aku akan meminta maaf dan setelah beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang berbeda. Pergelangan kakiku menjadi lebih baik dan berjalan menjadi lebih mudah. Aku senang mengetahui hal itu.

Tepat di luar pintu kamar, aku membeku. Sebagian dari diriku merasa aku telah membuatnya marah tadi malam, tapi sebagian lainnya merasa ini lebih aman. Aku berada pada jarak yang aman. Terlepas dari itu, terlalu berlebihan bagiku untuk percaya bahwa dia juga menyukaiku. Aku bukan pria yang sempurna.

Aku ragu-ragu saat memegang kenop pintu dan masuk.

Mengapa aku menjadi seperti ini? Ini rumahku.

Memberanikan diri, aku memegang kenop dan membuka pintu. Setelah masuk, aku tidak melihatnya di mana-mana. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka dan dia keluar dengan berpakaian rapi. Apa mungkin dia akan keluar lagi?

"Selamat pagi," dia menyapa dengan senyum simpul, itu sedikit tak terduga.

Entah kenapa, aku yakin dia marah. Tapi dia terlihat tidak terpengaruh oleh kata-kataku dan dia bertingkah seperti biasa.

Tatapannya beralih ke pergelangan kakiku.

"Kamu tampak lebih baik. Baguslah. Sebentar lagi kamu akan kembali ke rutinitasmu yang biasa," ujarnya sambil bersorak dan aku hanya bisa mengangguk pelan sebelum melangkah lebih jauh ke dalam kamar.

"Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untukmu."

Sebelum aku bisa mengatakan apapun, dia sudah keluar dari kamar.

Anehnya, aku merasa tidak nyaman. Mungkin, itu karena aku kecewa bahwa dia mungkin baik-baik saja setelah apa yang kukatakan. Tapi, memang seharusnya begitu 'kan?  Maksudku, aku ingin semuanya tetap seperti apa adanya. Aku tidak ingin ada perubahan.

Aku sudah duduk di meja makan, menatap telur, sosis, dan roti panggang yang disajikan sempurna di piringku. Secangkir kopi duduk dengan manis di sampingnya.

"Kamu yang membuatnya?" aku bertanya tanpa menatapnya.

"Iya, meskipun butuh waktu lama. Pelayan membantuku. Aku harap kamu menyukainya," dia menjelaskan dan aku menatapnya. Senyum hangat bermain di wajahnya, namun, aku bisa melihat kesedihan di matanya. Tidak ingin terlalu banyak berpikir, aku memalingkan muka dan memutuskan untuk menghabiskan sarapanku.

Hanya ada keheningan.

"Kamu tidak makan?" tanyaku dan menatapnya sekali lagi. Dia menggelengkan kepalanya dengan lembut.

"Aku tidak lapar," katanya dengan sedih. Itu membuatku khawatir dan tanpa berpikir panjang aku menepatkan tanganku di dahinya untuk mengecek suhu tubuhnya.

"Kamu sakit?" tanyaku dan mata kami bertemu, aku menyadari matanya berlinang.

Perlahan, aku menarik tanganku dan memalingkan muka. Aku mendengarnya menghela napas.

"Aku ingin memberitahumu sesuatu," katanya dan aku tidak bisa menatapnya. Ketegangan menyelimuti kami.

Tiba-tiba, dia mendongak dan menatapku.

"Aku ingin bercerai."

Tbc

My Cruel BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang