Perlahan pintu ruangan terbuka, menampilkan Erik dengan langkah kakinya sedikit bergetar menghampiri Papanya yang duduk di meja kerjanya menunggu kehadiranya.
Erik berdiri tegap dengan khawatir yang tersirat di raut wajahnya. "Ada apa Pah?"
"Ada apa kamu bilang!!" Pria dengan perawakan badan yang sedikit berisi dan wajah garang itu menatap kesal Erik. Bram Suseno—orang yang telah membuat Erik dalam keadaan menyesal setelah kematian Evan. Hari demi hari tiada henti Bram selalu mengungkit tentang kematian Evan yang membuat cowok itu mengalami tekanan mental drastis. Entah itu dari Papahnya atau pun Mamahnya.
"Saya udah bilang berapa kali sama kamu! jangan pernah panggil saya Papah. Dan lagi, saya udah pernah larang kamu untuk main geng-geng motoran itu lagi. Kenapa kamu ini sulit sekali diberitahu?"
"Tapi bagi aku, mereka itu kelua-"
"Masih ngelawan kamu! harusnya kamu ini bisa membanggakan keluarga ini. Seperti Evan. Kamu ini hanyalah anak yang suka buang-buang uang hanya untuk hal tidak berguna, berprestasi saja tidak." Ujar Bram memotong perkataan Erik. Ini bukan pertama kalinya bagi Erik menghadapi amarah Papahnya, sabar demi sabar. Pasrah demi pasrah ia lalui demi menepati janji terakhirnya kepada Evan.
Cowok itu menunduk ketakutan. Ia tidak berani menatap mata Papahnya, dengan tangan yang saling bertautan menggenggam satu sama lain. "Maaf, aku memang selalu salah di mata kalian."
"Pokoknya saya ga mau lagi denger kamu main sama anak-anak jalanan itu. Kalau kamu masih bersikeras untuk bergaul dengan mereka, lebih baik kamu pergi dari rumah ini dan jangan kembali ke sini lagi. Kamu bukan Evan, kamu hanya Erik. Harusnya kamu saja yang mati."
Tak kuasa mendengar perkataan yang lebih menyakitkan dibanding hari-hari sebelumnya, Erik memilih pergi dari ruangan itu bersama kemarahan Papahnya yang semakin menjadi-jadi. Berjalan menuju kamarnya dengan rasa sakit yang ia telan membuat dadanya begitu sesak hingga sulit untuk bernafas.
Brakk!!
Bantingan pintu disambut dengan hawa panas yang menyelimuti jantungnya membuat ia kehilangan emosi yang sedari tadi ia pendam. Cowok itu menyandarkan punggungnya pada pintu dan perlahan mulai menjatuhkan tubuhnya kasar, menelungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya. Menangis sejadi-jadinya adalah saksi bisu betapa ia sangat merasa sakit.
"Gue butuh lo bang." Ucapnya dengan suara bergetar lemah. Erik kembali mengingat detik-detik kejadian sebelum Evan benar-benar tewas dalam pandanganya.
"To.......long, jaga Mama sama Papa untuk aku."
Suara lirihan Evan yang terus terdengar dalam relung telinga Erik dan terus terngiang di dalan ingatanya. Membuat Erik selalu merasa bahwa kakanya itu masih berada di sampingnya untuk susah-senang yang ia lewati tiap harinya.
•••
Kembali pada suasana haru dalam kerumunan laki-laki yang sedang melingkar mendengarkan cerita Erik. Mereka masih setia menanggapi perilaku Erik adalah hal yang wajar bagi anak seusianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYTHREADPLAN [REVISI]
Teen FictionSemua ini tentang dendam,ambisi, dan keserakahan. ⚠️⚠️WARNING⚠️⚠️ Beberapa part banyak mengandung unsur kekerasan, mohon untuk para pembaca agar bijak menanggapinya.