Gara masih terdiam mendengar kekaguman yang dilontarkan Mustika. Siapa sangka kalau refleks sigapnya mendapat pengakuan begini dalam.
Sejujurnya, Gara tidak berpikir sampai sejauh itu. Siapa yang akan membiayai, apa ada yang punya uang, dia sama sekali tak tahu. Saat itu, yang ada dipikirannya adalah membawa orang yang sedang sakit ke rumah sakit untuk segera mendapatkan perawatan adalah langkah paling tepat.
Dia tidak ingin ada lagi orang yang tewas di hadapannya.
Kalau dipikir, sebenarnya dirinya tak sebaik prasangka Mustika. Dia menolong bukan karena berhati baik, tapi sekadar tak ingin melihat kematian orang lain lagi.
Saat itu, Gara tidak sadar kalau dia justru membohongi dirinya sendiri. Gara malah berprasangka buruk pada perbuatannya sendiri. Refleksnya menolong Mustika memang hanya karena ingin wanita itu sembuh. Tidak ada sangkut pautnya dengan kematian di hadapannya.
Akan tetapi, perasaan rendah diri dan bersalahnya begitu mengakar. Gara terus-menerus menenggelamkan diri pada pikiran-pikiran negatif yang sebenarnya tidak perlu ada. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa apa pun.
Mustika berdecak pelan. "Lalu, kejadian kayak hari ini sama Bu Hesti pun, dulu pernah juga kan ngalamin? Siapa namanya itu?" Mustika berusaha mengingat-ingat. "Si … Tohir? Toni? Siapa lah Ibu lupa. Sok gegayaan mau beli jahitanmu yang harus selesai hari itu juga. Pas tahu harga bajunya, eh, langsung buru-buru nyuruh kamu kelarin jahitan aja. Nanti kalau udah beres, baru kamu cepetan masak buat Ibu. Sementara dia malah sempet-sempetnya minta dibuatin kopi. Gimana nggak Ibu tendang?!" Alis Mustika ditekuk ke dalam dengan bibir mencebik sinis.
"Makanya, kan nggak usah pacaran. Ibu masih aja pengin Asa pacaran dulu." Asa berusaha menenangkan ibunya yang tampak berapi-api.
Sebenarnya, Asa tahu tujuan Mustika membiarkan Asa pacaran dulu. Mustika ingin mengetahui lebih banyak tentang calon suami Asa. Toh, tidak ada kencan di luar. Pria-pria itu datang ke rumah Mustika dan ngobrol bertiga. Sebatas itu.
Namun, tetap saja itu bukan hal yang diizinkan Allah. Bukankah ada ta'aruf? Bertanya langsung seperti yang sekarang Mustika lakukan.
"Iya. Makanya ini, Ibu udah nggak pakai pacaran lagi. Tanya langsung aja. Nak Gara, mau nggak nikah sama Asa?"
Gara yang sedang minum untuk menenangkan pikiran pun langsung tersedak. Dia memang sudah menduga Mustika akan bertanya lagi tentang itu. Namun, tetap saja setiap mendengarnya sendiri, rasanya masih saja mengejutkan.
"Sa-saya …"
Tiba-tiba, jawaban Gara harus terpotong dengan gelegar petir diiringi jeritan Asa.
Perempuan itu langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya membeliak dan bola matanya bergerak-gerak tidak fokus. Sekujur tubuhnya gemetar dan langsung mendekap Mustika erat-erat.
"Nak Gara jangan pulang dulu. Dengarkan cara Ibu menenangkan Asa." Mustika tanggap dan langsung meminta Gara menutup pintu utama agar air hujan tidak masuk. Demikian pula dengan kelambu yang membatasi kasur dengan ruangan lain agar Gara tak melihat Asa. Mustika khawatir jilbab Asa terlepas ketika perempuan itu mulai histeris.
Gara merasa jantungnya bertalu kencang. Petir kembali menggelegar dan jeritan Asa kembali terdengar. Padahal, barusan semuanya baik-baik saja. Asa masih bicara dengan normal menanggapi ucapan Mustika. Gelegar petir langsung mengubah segalanya.
Gara tak bisa melihat apa yang dilakukan Mustika pada Asa. Gara pun sadar, apa saja bisa terjadi saat Asa histeris. Dia tak ingin melihat apa yang bukan haknya.
Suara Mustika yang terus menerus menenangkan terdengar. Begitu sabar, tidak ada amarah. Begitu lembut, tapi juga tegas. Meyakinkan Asa kalau dia tidak sendiri. Bahwa semua ketakutan yang dialami wanita itu akan segera terbasuh pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
SpiritualGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...