Mendengar ucapan Mustika yang seolah siap untuk meninggal kapan pun, membuat hati Asa nyeri. Berapa kalipun Mustika mengulang-ulang kalimat itu dengan harapan Asa bisa terbiasa, tapi itu tidak akan bisa membuat perempuan muda itu kebas. Semua tetap terasa menyedihkan.
"Bu, Asa mohon, jangan ngomong aneh-aneh!" Suara Asa terdengar bergetar. Perempuan itu mendekap Mustika erat-erat. Perkataan ibunya tentang mencari orang yang bisa menjaganya saat sudah menjadi yatim piatu, teramat menyayat hati. Sungguh, Asa tak ingin Mustika meninggalkannya sendirian.
Mustika melepaskan pelukan Asa dan membelai wajah putrinya itu. "Apa yang kamu rasa baik, belum tentu itu yang terbaik buat kita. Kamu tahu kan bahwa Allah lah satu-satunya yang paling paham?"
"Ta-tapi…."
"Ibu masih bisa bertahan hidup hingga sekarang, pasti karena sebab tertentu." Mustika menurunkan tangan menyusuri lengan Asa sebelum menggenggam tangannya erat. "Kita harus ikhlas pada takdir Allah."
Asa menggeleng berulang. "Asa belum bisa Ikhlas, Bu! Kenapa orang baik harus meninggal cepat? Kenapa harus Ibu yang terkena penyakit mematikan itu?"
Mendengar kalimat itu, Mustika malah tertawa keras. "Bapakmu gimana?"
Mata Asa membelalak mendengar kalimat ibunya barusan.
Mustika kembali tertawa dan menepuk-nepuk lengan Asa penuh kasih. "Ibu nggak bilang bapakmu orang jahat. Siapa tahu bapakmu sempat bertobat sebelum meninggal. Namun, yang harus kamu ingat, Ibu masih diberi Allah kesempatan untuk lebih banyak bertobat, berzikir, dan dihapus dosa-dosanya selama sakit."
Mustika bisa melihat kalau Asa masih membisu di tempatnya. Maka wanita paruh baya itu tersenyum dengan penuh kesabaran. Kerut di wajahnya justru membuat wanita itu terlihat lebih bersahaja. "Ini yang terbaik buat kita, Asa. Mungkin memang terasa berat, juga bisa jadi terasa tidak adil. Namun, kita harus yakin bahwa Allah itu Maha Adil. Kita saja yang belum tahu di mana letak keadilan itu."
Gara tersentak mendengar kalimat Mustika barusan. Selama ini, dia merasa kalau hidupnya penuh ujian. Padahal, kalau dipikir-pikir, nasib Asa dan Mustika jauh lebih berat.
Jika dirinya mengalami semua kepahitan karena keputusannya sendiri yang memilih menjadi seorang pembunuh bayaran dan meletakkan uang di atas nyawa seseorang, Asa dan Mustika menerima ujian karena takdir Allah.
Dirinya telah salah memilih jalan kehidupan. Sedangkan Asa dan Mustika? Pasti bukan karena Asa ingin diperkosa enam penjahat, ataupun Mustika yang ingin terkena kanker hati stadium akhir di usia yang masih terbilang muda.
Akan tetapi, Mustika mampu mendampingi Asa yang mengalami teror semengerikan itu agar tetap bertahan hidup. Di rumah serba kekurangan ini—jika dibandingkan dengan gaya hidup Gara dulu—mereka bisa terus berjuang tanpa mengeluh sedikitpun.
Pikiran Gara mengembara. Jika dulu dirinya diangkat oleh orang lain, apa yang akan terjadi? Apa hidupnya akan bahagia? Apa dirinya tidak akan punya penyesalan?
Tiba-tiba nyeri itu hadir kembali. Gara beristighfar. Dirinya tidak boleh iri pada hubungan Mustika dan Asa. Maka pria itu pun memejam dan memanjaatkan doa untuk kebahagiaan dan hidup penuh berkah Asa dan Mustika.
“Tuh, Nak Gara sampai doa khusyuk banget gara-gara kita cuekin,” ucapan Mustika yang lembut menyentak Asa dan Gara bersamaan.
“Ah, maaf, Kak Gara.” Asa menjauh dari Mustika dan menyeka sisa-sisa air matanya.
“Maaf, saya hanya mendoakan agar Ibu dan Asa mendapat kebahagiaan selalu. Bisa bersama untuk waktu yang sangat lama. Maafkan jika terkadang…” Suara Gara menggantung. “Saya iri pada hubungan Ibu dan Asa. Seandainya saya dulu memiliki Ibu sehebat Bu Mustika, mungkin hidup saya akan berbeda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
SpiritüelGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...