Gara terdiam kala mendengar Asa dengan sangat sopan meminta bantuannya. "Tentu saja, InsyaAllah aku akan bantu. Apa yang bisa kulakukan?"
Kali ini Gara bisa melihat bibir Asa melengkung ke atas penuh kelegaan. Tampaknya cukup sulit baginya meminta bantuan pada orang lain. Asa perempuan yang mandiri dan sangat tegar. Pria itu merasa dirinya harus lebih berjuang untuk membuat Asa nyaman dan bergantung padanya. Bukankah wajar seorang istri bergantung pada suaminya?
"Besok, tolong bantu mengeluarkan lemari kayu yang di dapur bisa, Kak? Baru ketahuan ada rayapnya. Jadi banyak serpihan debu. Ibu jadi sering batuk-batuk."
Gara langsung menyetujui. "Apa Ibu tadi ke sini?"
Asa membenarkan. "Pesanan untuk Pak Heru hanya sisa dua baju. InsyaAllah besok sudah selesai. Makanya Ibu memintaku untuk membereskan rumah ini."
Bibir Gara membulat. "Apa Ibu tidak kelelahan?"
Bahu Asa terangkat. "Kayaknya, Ibu malah senang, Kak. Tapi, ya itu. Bada Zuhur langsung tidur. Bangun saat Asar, salat, lalu tidur lagi."
"Apa kondisi Ibu baik-baik saja? Rasanya, sejak pernikahan kita, Ibu semakin jarang bangun dari tidur."
Asa menelan liur. "Sejujurnya, Ibu sering kambuh. Sakitnya pasti luar biasa sampai obat pereda sakit pun tidak mampu menanganinya."
"Apa kita harus ke dokter?" Gara tampak cemas.
Suara debas terdengar keras. "Dokter sudah angkat tangan, Kak. Yang bisa mereka lakukan hanya membuat Ibu nyaman menunggu waktu." Asa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Jarinya meremas ujung daster kalut. "A-aku takut."
"Jangan berpikiran macam-mcam dulu. Kita dukung terus dengan doa. Semoga Allah memberi yang terbaik bagi Ibu." Suara Gara terdengar lirih. Ada gelayut gelap membayangi bola mata pria itu. Keraguan memancar, tapi dia harus mengatakannya.
"Mungkin kamu akan berpikir aku kejam. Namun, membayangkan Ibu menjerit kesakitan karena penyakitnya setiap hari, apakah benar itu yang terbaik bagi beliau?"
Asa mendongak dan kali ini menatap mata Gara lekat-lekat. "Apa aku egois kalau meminta Ibu berumur panjang?" Mata jernihnya berkaca-kaca.
"Aku tidak bilang begitu." Alis Gara sedikit terangkat cemas melihat Asa tampak kembali kesusahan. "Hanya saja, sejak aku meninggalkan masa laluku di belakang, kadang, aku bahkan tidak tahu harus meminta apa. Aku tidak tahu apa pilihanku benar atau salah. Aku hanya berdoa agar Allah meneguhkan imanku dan selalu membantuku memilih keputusan."
"Kakak tidak punya keinginan?" Suara Asa sedikit bergetar, tapi air mata masih tertahan di pelupuk.
"Aku hanya ingin Allah mengampuni dosa-dosaku. Hingga pada akhirnya aku bertemu dan jatuh cinta padamu." Senyum teduh terukir di wajah tampan Gara setiap kali membicarakan tentang perasaannya pada Asa. "Saat ingin menikahimu pun, aku hanya berharap Allah memberikanmu jodoh terbaik."
"Kok?" Kali ini Asa yang mengerutkan kening. "Kenapa malah jodohku?"
"Karena aku bahkan tak yakin layak untuk menikahimu. Aku sungguh tak yakin layak memiliki seorang istri sehebat dirimu. Aku pikir, kamu akan lebih bahagia dengan pria lain daripada aku." Kali ini wajah Gara terlihat sendu. Asa bisa merasakan kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan.
Gara berdeham pelan menyingkirkan semua kenangan pedih yang sempat bergelayut. "Qadarullah, Allah malah menakdirkan sebaliknya." Gara mengulas senyum tipis. "Karena itu, aku berdoa agar Ibu mendapatkan takdir terbaiknya dan kita bisa ikhlas menerimanya. Allah pasti memberi kita takdir yang baik, tapi kita tidak tahu apakah bisa ikhlas menerimanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
SpiritualGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...