Ada angin yang mengembus lewat daun pintu yang terbuka memainkan rambut Gara hingga pria itu pun menyugar poninya ke belakang.
Terdengar satu tarikan napas sebelum Gara kembali bersikap sempurna dan berkata, "InsyaAllah, saya akan berjuang sekuat tenaga untuk membahagiakan Asa," tukasnya dengan ekspresi yang masih tampak kaku karena gugup.
“MasyaAllah! Alhamdulillah.” Mustika berdiri perlahan dibantu oleh Asa. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu pun duduk di dekat meja jahit. “Terima kasih sudah mau menjadi suami Asa dan berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakannya.”
Bagi Gara, kalimat Mustika begitu menenangkan. Wanita itu memberikan kepercayaan penuh pada dirinya tanpa memedulikan masa lalunya. Gara langsung menarik sudut bibir ke atas membentuk senyum kelegaan. “Saya bukan laki-laki yang sangat saleh, Bu. Namun, saya akan selalu berusaha untuk menjadi imam yang baik bagi Asa. Mohon selalu mengingatkan saya jika saya berbuat salah.”
Ada dengkusan terdengar tertahan. “Biasanya sih, yang saleh malah ngakunya tidak saleh.” Heru tampak bersedekap sambil mengangkat satu alisnya. “Lha dia paling rajin kalau urusan salat ke masjid. Salat Qobliyah dan Ba'diyah lengkap. Kalau lagi istirahat dan selesai makan, dia baca Al Quran. Ini kesaksian saya sebagai mandor yang selalu lihat dia kerja, lho!” Heru menatap Gara serius. Tampaknya dia tidak rela kalau Gara menganggap dirinya bukan laki-laki saleh.
“Saya masih belajar, Pak. Harus mengejar banyak ketinggalan.” Gara berbisik lirih. Ya … dia berjanji akan berusaha lebih keras lagi untuk bisa melindungi dan membahagiakan Asa hingga kelak mereka akan bersatu di surga abadi. Dirinya takut terlempar ke neraka selamanya. Membayangkannya saja membuatnya bergidik ngeri.
"Memang kapan kalian mau menikah? Emang ada duitnya?" Panji mencibir masih tampak sinis. Hatinya tampak memendam iri melihat Gara lancar mendapatkan perempuan yang sangat manis itu.
"Ibu tidak minta pesta. Asal sah, itu sudah lebih dari cukup," potong Mustika cepat.
"Kalau begitu, mau secepatnya, ya? Biar tidak ada fitnah?" Heru mengangguk-angguk tampak menyetujui ide itu.
"Kalau bisa secepatnya, akan sangat baik, Pak." Mustika menatap Heru. "Kalau kemarin mengurus pernikahan, berapa lama, ya? Kalau sekarang, perlu surat-surat apa?"
“Oh, iya Asa, bulan depan acara pernikahan anak saya. Kira-kira kamu sanggup mengerjakannya?” Heru tak menjawab pertanyaan Mustika dan justru mengubah topik sambil menatap Asa.
“InsyaAllah, Pak,” balas Asa penuh percaya diri. “Asal yang mau diukur secepatnya bisa datang ke sini, jadi saya bisa lekas belanja bahannya dan langsung diproses.”
“MasyaAllah, saya suka yang begini. Gercep! Gerak cepat! Mirip banget sama Gara. Pantes kalian berjodoh, InsyaAllah.” Lagi-lagi Heru tidak tahan untuk menggoda dua orang itu.
Gara menunduk rikuh bahkan tak berani menatap Asa. Dia tak berani melihat reaksi Asa yang sebenarnya tak jauh beda dari dirinya yang juga menunduk tersipu.
“Nah, sebagai hadiah pernikahan, biar saya yang bantu ngurus surat-surat nikah kalian.” Heru mengangguk-angguk.
“Eh?” Mustika tampak kaget.
“Anak kedua saya membuka biro jasa pembuatan surat-surat yang dibutuhkan untuk pernikahan di KUA bagi orang-orang yang sibuk. Biasanya yang kedua pengantin sama-sama kerja dan kesulitan mendapat cuti untuk mengurus ini-itu di hari kerja,” jelas Heru.
“Karena saya ingin Asa fokus menjahit seragam pernikahan anak pertama saya dan Gara tidak bisa sering-sering cuti untuk mengurus tetek bengek pernikahan, saya bantu saja. Paling dua minggu lagi, kalian bisa menikah di KUA. Solusi yang sama-sama bagus buat kita semua, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
EspiritualGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...