Asa masih duduk tenang di depan mesin jahit kunonya. Merapikan beberapa jahitan yang besok akan diantarkan Gara. Hatinya masih kerap merindu. Sesekali dia seolah mendengar kerisik dari arah kasur Mustika rahimahullah, seakan wanita itu masih terbaring di sana.
Ketika menoleh, hanya kehampaan yang terlihat seiring rasa rindu membuncah memenuhi dada. Asa kembali memanjatkan doa agar Allah memudahkan semua hisab Mustika hingga mereka bertemu di surga kelak. Tak jarang beristighfar untuk Mustika. Memintakan pengampunan dari Allah untuk sang bunda.
Ketika Asa hampir selesai memanjatkan doa khusyuk, sebuah suara rendah pria bernada dingin terdengar.
“Wah, wah, baru saja Ibumu meninggal, sekarang kamu sudah bisa menjahit?” Jack berdiri sambil bersedekap di depan pintu rumah jahit Mustika. Matanya menatap tajam ke arah Asa yang tengah memejam berdoa.
Asa mendongak dan langsung berdiri untuk bergerak mundur menjauh dari pria bertubuh besar itu. Tubuhnya menabrak kursi besi yang menyebabkan badannya sedikit limbung dan kursinya pun terjatuh. Suara gaduh terdengar dan pria itu hanya menarik satu sudut bibirnya ke atas.
Meski tata bahasanya sopan, entah kenapa Asa justru merasa takut. Apalagi, Asa bisa merasakan ancaman mengerikan yang menguar dari tubuh pria itu. Refleks dan insting wanita itu memerintahkannya untuk mundur.
“Si-siapa Anda?” tanya Asa gugup. Dia tak bisa menyembunyikan kecemasan yang mendadak menyergapnya. Ia memang memiliki trauma pada laki-laki. Namun, pria yang ada di hadapannya lebih dari sekadar laki-laki biasa. Auranya berbeda. Ada sesuatu yang menekan dan memberikannya rasa sesak hanya dengan dia berdiri di dekatnya.
Pria itu jangkung dengan pakaian bernuansa gelap. Matanya berkilat mengerikan dan membuat Asa tak berani memandangnya. Dia memilih menunduk melihat sepasang sepatu kets merk kenamaan yang terlihat mahal.
“Aku … teman lama suamimu. Siapa namanya sekarang?” Jack berpura-pura tak ingat. “Gara?” Sebelum tawanya meledak.
“A-apa Anda mau ber-temu Kak Gara?” Asa berbisik sedikit gemetar. Dia berusaha untuk tetap tenang, tapi tubuhnya tidak bisa ditenangkan semudah itu.
Senyum dingin Jack menjadi jawaban. “Aku sudah bertemu dengannya dan dia tidak suka jika aku bertemu denganmu. Apa kamu tahu kenapa?” Jack menikmati rasa takut yang dirasakan dari perempuan di hadapannya. Sama seperti korban-korbannya yang lain sebelum dihabisi. Mereka selalu mengemis untuk diampuni. Namun, Jack tidak memberi kesempatan itu. Dia merasa begitu superior. Seseorang yang menggenggam nyawa orang lain.
Jack tidak habis pikir kenapa Gathan bisa membuang semua rasa bangga di dada serta segala gelimang harta yang begitu mudah mengalir ke rekening mereka demi seorang wanita?
Tidak juga. Gathan sudah pergi jauh sebelum mengenal wanita yang kini pucat pasi itu. Jack sungguh heran, tapi dirinya ingin mengetahui sampai mana Gathan bisa bertahan dengan semua pikiran naifnya itu.
Sementara itu, Asa bergeming. Lidahnya kelu dan entah kenapa dia bahkan tak bisa menjawab sedikit pun pertanyaan pria itu. Kenapa Gara tak ingin mereka bertemu? Sekadar bukan mahram? Cemburu? Ataukah ada yang lebih berbahaya dari itu semua?
Melihat Asa tak bereaksi Jack berdecak. “Dia tak menceritakan masa lalunya bukan?” Senyum dingin Jack seolah mampu membekukan seisi rumah. Pria itu melihat Asa menggeleng perlahan. “Tentu saja dia tidak mau bilang. Bagaimana bisa menceritakan kalau dulu … Gara adalah seorang …” Jack diam sejenak menelisik rasa penasaran yang menguar dari sisi perempuan itu. “Pembunuh bayaran.”
Seperti disambar petir, Asa merasa kepalanya berdentam hebat. Kalimat yang baru saja didengarnya sungguh di luar dugaan hingga seperti ada bom yang meledak di telinga. Sakitnya hingga ke dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
EspiritualGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...