Aroma gurih yang sedap terhidu ketika Asa mendekatkan mangkuk bubur ke dekatnya.
"Mau kusuapi?" Suara Gara terdengar sangat merdu menyelinap dalam telinga Asa dan mengalir langsung ke hatinya.
Perempuan manis itu terkesiap dan hanya bisa menggeleng gugup sebagai reaksi. Dadanya berdebar keras seiring suapan pertama yang masuk ke mulut.
"Alhamdulillah kamu mau makan. Kalau misal malas makan sendiri, bilang aja, ya. Nanti aku suapin."
Lagi-lagi hati Asa mencelus mendengar suara rendah, tapi terdengar sangat mengayomi itu. Pelan-pelan Asa mendongak menatap suaminya.
"Ya?" Gara tersenyum tipis dan matanya terlihat bersinar bahagia.
"Makasih, Kak. Jazakallahu khairan," bisik Asa sebelum kembali menunduk.
"Jazakillah khairan."
Setelahnya, Asa memakan buburnya dengan lahap. Sebenarnya, perut Asa memang sangat lapar. Namun, meski semangatnya belum sepenuhnya kembali, Asa tahu dia tidak boleh mengecewakan Mustika. Apalagi Gara dengan begitu sabar menemaninya yang sempat begitu kekanakan. Dirinya harus makan agar tetap sehat dan mampu kembali bekerja seperti semula.
Mustika memang tidak mau jika Asa melakukan tahlilan atas kematiannya karena wanita itu mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa acara tujuh harian dan lainnya tidak ada dalilnya. Semua memudahkan sekali. Asa tidak perlu pusing memikirkan biaya yang harus dikeluarkan untuk acara-acara itu. Dia hanya perlu mengurus aneka surat seperti kartu keluarga baru, dan lain-lain.
"Alhamdulillah kamu sudah kelihatan segeran." Gara angkat bicara setelah membereskan semua piring kotor dan bahkan mencucinya. Kemeja yang digulung hingga siku membuat pria itu terlihat sangat menarik.
Asa memandangi tubuh suaminya sebentar. Pria itu masih mengenakan kemeja alih-alih kaus oblong pendek kasual. Apa Gara khawatir Asa akan jijik melihat tatonya?
"Maaf aku nggak bisa bertindak sebagai istri yang baik. Kakak malah yang repot ke sana-sini bahkan mencucikan piring segala." Suara Asa terdengar tercekat.
"Hei, aku suamimu." Kali ini kalimat Gara terasa menenangkan kala pria itu kembali bersila di hadapan Asa dan menyodorkan segelas teh hangat. Gara tetap memberi jarak satu setengah meter jauhnya. Itu pun, Asa masih tampak canggung. "Asa, kamu harus ingat, bahwa tugasku adalah menjagamu di kala susah maupun senang. Aku tidak mungkin membiarkanmu mengerjakan semua, sementara kamu baru saja mengalami hal yang sangat berat. Hal yang menghabiskan seluruh tenagamu di tubuh dan juga di hati.
Asa mengembuskan napas. Diselipkannya anak rambut yang jatuh kembali ke belakang telinga mengusir semua gugup. Kemudian dia mendongak menatap Gara. Dia memang masih sedikit takut. Bayang-bayang peristiwa mengerikan saat malam badai itu kembali melintas. Akan tetapi, dirinya tak boleh menyerah!
"Kak, sejujurnya, aku tidak suka dibohongi. Tidak suka jika ada yang ditutup-tutupi." Asa bisa melihat ekspresi Gara berubah sejenak sebelum kembali datar dan menyunggingkan senyum tipis yang menyejukkan.
"Apa kamu mau tahu masa laluku? Dosa-dosaku? Juga semua yang kulakukan hingga aku membuang semua hartaku dan memilih menjadi seorang tukang bangunan?" tanya Gara lirih.
Asa menyadari ada sirat mata khawatir dan enggan di mata suaminya itu. Jemari Asa tanpa sadar meremas daster batik panjangnya. Namun, apa yang akan dilakukannya jika tahu masa lalu Gara dan tidak bisa menerimanya? Bercerai? Membuat Ibu kecewa?
Asa tidak yakin. Tampaknya, dia akan memilih tidak tahu masa lalu Gara terlebih dahulu. Lalu, dirinya akan salat istikharah. Jika memang masa lalu Gara lebih baik diungkap, maka Allah pasti akan membukakan jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Asam Garam Asa dan Gara
EspiritualGara, seorang mantan pembunuh bayaran, ingin berhijrah dan menjauh dari masa lalunya yang kelam. Siapa sangka dia akhirnya berkenalan dengan Asa yang begitu ceria meski menyimpan banyak luka. Walaupun perempuan itu merupakan korban rudapaksa dari en...