Mingyu yakin dirinya sudah terlelap tadi. Berkat bisikan penuh magis dari Wonwoo, ia terlelap tadi. Lalu mengapa saat fajar masih lama terbit dan malam sudah tak lagi berada di tengah, ia terbangun. Seolah ada seseorang yang membangunkannya.
Mungkin pria yang tertidur di hadapannya inilah yang membangunkannya. Terlelap dengan tenang. Menghadap dirinya dan rela bersempit-sempitan berbagi ranjang ini.
Wonwoo.
"God, kenapa kau datang bagaikan badai?" bisik Mingyu pada hening.
Ia menyerah untuk kembali tertidur. Ia tak lagi peduli jika ia harus menghabiskan waktunya hanya dengan memandangi wajah Wonwoo saat ini. Sungguh. Ia tidak keberatan. Ia menyukai hal ini.
Namun ia tak menyukai rasa yang tertinggal di tiap hembusan nafasnya. Rasa berat yang mencekik ini, ia tak menyukainya. Memikirkan siapa sebenarnya pria di hadapannya ini, kenapa dia datang, mengapa ia membiarkannya begitu saja. Dimana Kim Mingyu yang penuh kewaspadaan. Ia dipecundangi oleh pria asing yang memasukkan kepalanya ke dalam lemari pendingin.
Satu tangannya terangkat. Menelusup ke helaian rambut yang menutupi sebagian kecil figur wajah Wonwoo. Menyibaknya penuh kehati-hatian. Dan sekarang ia membeku tatkala netranya menangkap dengan jelas luka jahitan kecil di pelipis dalam Wonwoo.
"Apa-apaan ini?" Satu jarinya menelusur bekas jahitan yang terlihat baru itu. Dan itu membuat Wonwoo tersentak hingga terbangun. Rasanya masih linu. "Kau terluka," suara Mingyu mulai terdengar panik.
Wonwoo yang terbiasa bangun dalam kondisi 100% sadar, menarik lepas tangan Mingyu dari kepalanya. "Aku tidak apa-apa."
"Itu jahitan baru."
"Ini tak seberapa," dibandingkan dengan luka tusukan di perutku, jahitan kecil ini bagaikan suvenir murahan.
Mingyu kembali menempatkan tangannya pada kepala Wonwoo. Mengabaikan gerakan kecil bentuk penolakan dari pria di hadapannya itu. Mingyu mengusap rambut Wonwoo hingga ke belakang kepala. Tidak ia temuka bekas luka lainnya.
Lalu tangan tersebut perlahan turun menelusuri leher, tulang selangka, dan samping tubuh Wonwoo. Ketika Mingyu berharap ia menemukan luka lainnya, yang ia dapatkan adalah Wonwoo yang menahan nafasnya canggung.
"Argh!" Erangan sakit itu lolos dari mulut Wonwoo ketika tangan Mingyu menelusur hingga sampai ke perut bagian kirinya.
Mengabaikan sopan santun, Mingyu bangun dari posisinya dan menyibak kaos yang digunakan Wonwoo. Menemukan perban yang luar biasa lebar di atas perut pria aneh itu.
"Apa lagi ini?"
"Ini bukan apa-apa, kau tak perlu khawatir," ujar Wonwoo sembari berusaha menurunkan kaosnya kembali ke tempat semula. Ia tidak terlalu suka ada orang lain yang melihat luka atau bekas lukanya. Itu bagian dari privasi, pikirnya.
Mata Mingyu memincing tajam, "lalu aku harus apa? Apa aku harus bersikap abai padamu? Apa aku harus pura-pura tak tahu?"
"Apa yang bisa kau lakukan jika sudah mengetahuinya?" hardik Wonwoo, "ayolah, ini tidak seberapa. Aku pernah menerima yang lebih—"
"Kau pernah menerima luka yang lebih dari ini?" Mingyu tak mau kalah, ia balas menghardik Wonwoo. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"
Sesaat Wonwoo mengutuk mulutnya, lalu detik selanjutnya ia melanjutkan berakting tangguh di hadapan Mingyu. "Kau pikir aku menyembunyikan apa darimu?"
"Kau menyembunyikan segalanya dariku! Itu yang aku pikirkan!" suara Mingyu semakin meninggi. Entah kenapa emosinya tersulut dengan mudah dengan hanya melihat perban sebesar ukuran telapak tangannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
a man with spring in his smile || meanie || Seventeen
FanficPernahkah kalian bertemu dengan seseorang yang memiliki senyum sehangat musim semi? WARN : BXB; MXM; Minwon; Mature content not just for segg part; M-preg; and other(s). Inspired by "decision to leave"