BAB IX: Satu Ruangan Part 3 (versi baru)

474 32 3
                                    

Ini sudah ke sekian kalinya Raka bersin-bersin tanpa henti sejak ia tiba di rumah orang tuanya yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Mungkin sudah terhitung selama nyaris seminggu sejak ia pulang dari Puncak tubuhnya mengalami penurunan daya tahan karena tak lama dari itu ia langsung terserang flu. Untungnya sejauh ini ia belum merasakan tanda-tanda demam atau penyakit lainnya karena jika itu terjadi maka sudah pasti ia tidak akan bisa fokus bekerja.

Di depannya terdapat bubur ayam yang dibelikan oleh Della yang juga ada di rumah orang tuanya setelah tahu kalau ia sedang mengalami flu berat, bahkan juga Raka dibuatkan susu jahe agar flunya bisa segera hilang meskipun sampai saat ini belum ada tanda-tanda itu akan terjadi. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur bahwa masih ada yang menaruh perhatian kepadanya di saat ia sedang kurang sehat begini. Ditambah lagi di hadapannya juga ada orang tua yang masih diberi kesehatan sehingga itu jauh lebih melegakannya. Raka lebih memilih ia yang sakit daripada orang tuanya yang sakit.

Malam ini kebetulan mereka memang sedang makan malam bersama di rumah Prof. Edi meskipun di ruang makan hanya ada Prof. Edi, Bu Hilda, Raka dan Della. Tak ada yang spesial dalam makan malam bersama kali ini, memang mereka hanya ingin saja dan ditambah lagi Bu Hilda memang merasa rindu karena sudah lama tak mengadakan makan malam keluarga. Raka akui kalau ibunya itu memang suka berlebihan, tapi Raka juga bisa memahami kalau itu semua hanyalah bentuk kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Sesi makan malam mereka hampir selesai dan saat ini mereka hanya mengisi sisa waktu yang ada dengan berbincang mengenai banyak hal seperti pekerjaan Raka, kuliah Della, urusan Prof. Edi di luar rumah hingga Bu Hilda yang mulai menunjukkan tanda-tanda ingin membicarakan tetangga sampai akhirnya ditegur oleh Raka. Meskipun Bu Hilda adalah orang tuanya dan lebih tua darinya, Raka hanya tidak ingin ibunya itu membiasakan diri dengan perilaku yang buruk. Memang tidak bisa diubah dalam sekejap, tapi ia harap setidaknya Bu Hilda masih bisa mengurangi kebiasaan buruknya tersebut.

Kemudian, mereka juga membahas soal Kak Naya yang belakangan ini sibuk sebagai seorang ibu alih-alih sebagai notaris dan hal itu bukan menjadi masalah untuk orang tua mereka. Apalagi Naura, anak tertua Kak Naya, sedang dalam masa pertumbuhan yang memasuki masa puber awal. Tentu saja anak semacam Naura perlu diawasi sebaik mungkin dan bagi Prof. Edi maupun Bu Hilda keputusan Kak Naya untuk lebih fokus pada anaknya adalah sesuatu yang tepat.

Tak lupa mereka juga membicarakan soal adik Raka yang masih berstatus sebagai mahasiswi di Australia, yaitu Cempaka Namira Harsono, S.H., dan tentunya membahas soal Mira yang sepertinya tengah dalam masa serius dengan kekasihnya. Hanya saja, Raka selaku kakaknya masih belum begitu yakin soal keputusan Mira untuk ke jenjang serius dengan kekasihnya. Bukannya ia pelit restu atau apa, bagi Raka tidaklah mudah ketika Mira hendak menikah dengan kekasihnya yang berstatus sebagai warga negara Jerman itu. Apalagi ia tahu betul karakter Mira yang terlalu malas mengurus hal-hal yang merepotkan seperti mengurus data perkawinan beda negara mereka.

"Oh iya, Ka. Gimana soal rencana kamu buat resign dari kampus?" tanya Bu Hilda tiba-tiba di saat Raka baru saja selesai menghabiskan bubur ayamnya. "Udah tau kapan mau proses pengunduran dirinya?"

"Hah?" sejenak Raka seperti orang bingung ketika ditanya begitu oleh Bu Hilda karena jujur saja ia bahkan hampir lupa kalau ia pernah ada rencana untuk mengundurkan diri sebagai dosen di kampus. "Oh itu ... hmm, belom tau kapan. Emang kenapa tiba-tiba Mami nanya?"

"Bukan apa-apa. Kamu kan tau kalo Papi kadang suka kambuh. Yaaah, singkatnya Papi udah nggak sesehat dulu dan usianya juga udah nggak muda. Satu per satu kerjaan Papi juga udah mulai dikurangin biar fokus sama kesehatannya dulu. Jadi, Mami sama Papi tuh sempet ngomongin ini juga kalo kami sih berharapnya kamu emang lebih fokus jadi lawyer aja sama bantu Papi untuk perusahaannya," jelas Bu Hilda sementara Prof. Edi tidak banyak bicara. Antara memang sedang kurang sehat dan tidak memberi tahu Raka atau diam karena menyetujui semua ucapan Bu Hilda. "Jadi, sebisa mungkin segera diurus. Memang sih nggak perlu buru-buru, tapi kita kan sebaiknya jaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Jangan sampe kita nggak siap."

ASDOS✅️ [Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang