MOMEN 6 - SEKOLAH SEBELAH

264 42 7
                                    

Sabtu nih, Bos. Update lagi. Jangan lupa Vote dan komen yesss. Selamat membaca :)

***

Sepanjang jalan menuju tempat pertandingan, mata Kelana tidak pernah lepas dari ponsel. Beberapa video joget alakadarnya yang dia upload kemarin ternyata viral lagi. Bahkan video Kelana bersama dengan mamanya yang joget di toko, mendapatkan perhatian lebih. Jika video yang mengangkat nama Kelana ditonton 1 juta dalam lima jam, maka video terbaru ini sudah ditonton lebih dari 6 juta dalam dua belas jam.

"Gue nggak habis pikir. Orang-orang lagi gabut apa gimana ya?" Kelana menggeleng.

"Artinya, lo punya pesona yang kuat, Lan," ungkap Puan.

"Lo itu enak dilihat. Jadi ya, pantes banyak yang suka." Iti ikut nimbrung sambil mengusap-usap kacamatanya.

Kelana menggeleng. Kalau memang gue enak dilihat, kenapa disebut ketua geng burik? Kan nggak make sense!

"Sudah sampai, Mbak," ucap Pak Maman.

Saking fokusnya ke obrolan soal video viral, mereka bertiga tidak sadar jika mobil itu sudah masuk parkiran sekolah. Kini, mereka bertiga celingukkan. Di lapangan parkir, banyak orang yang berlalu lalang. Selain banyak murid dari sekolah lawan, Kelana juga mengenali beberapa orang yang mengenakan seragam sekolahnya. Ada pula yang mengenakan seragam cheerleaders.

"Yuk!" Kelana bergegas keluar. "Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Mbak." Pak Maman tersenyum lebar. "Oh iya, setelah kegiatan selesai, saya ke sini lagi ya."

"Nggak usah, kami bertiga mau main dulu."

"Tapi ini pesan Mas Bian. Saya harus memastikan Mbak Lana sampai rumah dengan selamat."

Ucapan itu kontan membuat Kelana disenggol oleh kedua sahabatnya.

"Nggak usah, Pak. Beneran deh. Biar saya yang nanti bicara ke Bian," sambung Kelana.

"Baik kalau begitu, Mbak."

Kelana mengelus dada. Antara sebal sekaligus senang. Bian memang paling bisa membuatnya merasa campur aduk.

"Belum jadi pacar aja udah seperhatian itu, apalagi kalau jadian ya?" Puan menggeleng takjub.

"Diem deh!" Kelana cemberut. "Gue ....."

"Burik!"

Suara itu menghentikan ucapan Kelana. Kontan, Kelana menengok ke sumber suara. Hampir saja Kelana terbatuk saat menyaksikan keberadaan Clarissa di lapangan yang sama. Saat ini, dia tidak mengenakan seragam, sama seperti Kelana.

"Gue bukan burik." tegas Kelana.

"Terus?" Kedua alis Clarissa terangkat. "Oh gue lupa, elo itu cewek yang nggak tau malu karena cari perhatian terus ke Bian."

Ucapan itu membuat Kelana menutup mulut. Dia tidak bisa untuk tidak tertawa dengan tuduhan itu. "Gue nggak salah denger? Bukannya elo cewek yang nggak tau malu? Kerjaan lo ngejar-ngejar Bian. Padahal, Bian aja nggak tertarik sama lo."

Iti dan Puan ikut tertawa. Sementara, Clarissa memberenggut marah.

"Seharusnya elo nggak ada di sini. Lo lagi di-scors!" Clarissa terus mengeluarkan senjata.

"Lah elo sendiri ngapain di sini?" Kelana menjawab lagi. "Hukuman kita sama."

"Elo lupa apa gimana? Gue ..."

"Gue adalah anak dari salah satu pengurus yayasan." Kelana memperagakan cara Clarissa berbicara sehari-hari. "Gue nggak pernah lupa Tuan Putri!"

"Biasa aja sih kalau kehadiran lo di sini gara-gara bokap lo. Bukannya lo selalu ada di bawah ketek bokap lo?" Puan tersenyum lebar. Berada di sisi Kelana, Puan merasa aman. "Kalau Lana, Lana ada di sini karena Bian. Uh, betapa cintanya Bian sama Lana. Kami diundang secara spesial oleh Bian. Kami bertiga juga diberi akses untuk menonton di kursi depan. Bahkan, Bian menugaskan supirnya untuk memastikan Lana sampai sini dengan selamat. Luar biasa kan?"

Iti menekan kacamatanya sambil tertawa. "Gila, temen kita yang katanya ketua geng burik ternyata bisa ngalahin tuan putri Clarissa."

"Diam kalian!" Clarissa melotot, emosinya semakin memuncak. "Sekarang, kalian berani sama gue?"

"Apa lo?" Kelana yang maju.

Tangan Clarissa melayang ke arah Puan dengan tujuan untuk menampar. Sigap, Kelana menahan tangan itu. "Nggak semua hal bisa lo lakuin, Ca. Apalagi, ini sekolah orang! Nggak ada yang bisa bela lo di sini. Kalau lo berani nampar Puan, lo justru bakal dipermalukan sama semua orang!"

Clarissa menurunkan tangan dengan gerakkan cepat. "Awas lo ya. Masih banyak kejutan yang bakal gue siapin!"

"Lo mau datengin preman sepuluh orang juga gue nggak takut!"

***

Dua tim yang akan bertanding dalam pertandingan persahabatan sudah berada di lapangan. Tim dari SMA Unggulan Bina Bakti mengenakan seragam berwarna biru toska yang berpolet putih di sisi-sisi bagian tangan. Di tengah-tengah seragam lekbong khas seragam basket, terdapat tulisan MAUNG SAKTI yang merupakan perpendekan dari SMA Unggulan Bina Bakti. Sementara, Tim dari SMA Krida Utama mengenakan pakaian berwarna putih dengan polet garis hitam di bagian pundak. SMA Krida Utama ini terlihat percaya diri, sebab dua tahun belakangan, mereka masih memegang rekor tim basket terbaik se-SMA Swasta di Jakarta.

Di sisi sebelah kiri lapangan, Bian dan timnya tengah berkumpul sebelum permainan dimulai. Namun, meski diskusi itu berjalan serius, otak Bian sebenarnya tidak sepenuhnya hadir di sana. Sesekali, dia melirik ke arah tribun. Dia mengamati tiga kursi yang telah dia pesan ke panitia. Kursi itu masih kosong. Lana dan kedua sahabatnya belum juga muncul.

"Bian!" teriak Putra. Dia cowok paling tinggi dengan posisi center di dalam tim. "Lo tahu kan risiko kalau kita kalah?"

Bian masih diam dengan pandangan fokus ke tribun di depannya.

"Woy!" Sekarang, giliran Arya yang bersuara. "Lo udah ngerti kan sama apa yang kita diskusikan buat nanti? Sebagai point guard, gue harus mastiin. Gue sama lo bakal sering berinteraksi saat permainan. Inget, Bi. Ini SMA Krida Utama. Kita harus benar-benar bongkar pasang strategi."

"Bian!" Sekarang, empat orang berbicara berbarengan.

Dari suara itulah Bian terperanjat. "Eh, gimana-gimana?"

"Ah, anjing lo. Pasti lagi mikirin si Lana kan?" tanya Bobi dengan mata memicing. "Bro, fokus dong. Inget, kita harus memenangkan pertandingan persahabatan ini. Kita harus buktiin ke guru-guru kalau kita bisa berjaya lagi seperti lima tahun sebelumnya. Tim basket kita lagi terpuruk!"

"Ah, sorry, Bro." Bian mengangguk-angguk. "Gue udah siap buat tanding hari ini."

"Yakin?" Parhan angkat suara. "Lo udah ngerti kan strategi pertama kita?" Parhan mendekatkan mulut ke telinga Bian. "Atur pergerakkan sesantai mungkin biar kita nggak keteteran di akhir!"

"Gue ngerti," jelas Bian. "Tenang. Gue bakal lakuin semaksimal mungkin. Pokoknya, kita harus benar-benar bekerja sama di sini."

Teman-teman Bian mengangguk penuh semangat. Mereka lantas melingkar, menyatukan tangan, lantas berteriak. "Bisa, bisa, bisa!" Selang dua menit, ada pengeras suara yang menyatakan pertandingan akan segera dimulai.

Tribun di lapangan indoor sudah mulai penuh. Bahkan cheerleaders dari kedua tim sudah berada di kursi-kursi paling depan untuk berteriak dan mendukung. Sampai kemudian, Bian mendapati tiga manusia berlarian menuju kursi yang masih kosong di bagian paling depan.

"Argh!" Bian mengulas senyum saat Kelana juga mencarinya lewat gerakkan mata. "Lana!" teriak Bian sambil mengangkat tangan.

"Bian!" Kelana mengacungkan jempol. "Good luck."

Bian mengangguk. Semangatnya mendadak terpompa saat mendapatkan dorongan dari Kelana. Bagi Bian, Kelana adalah satu-satunya cewek yang bisa membuatnya merasa berbeda. Terutama karena Kelana selalu bertingkah seolah Bian adalah orang biasa yang tidak selalu diagung-agungkan. Mendapatkan dukungan dari orang paling cuek seperti dimasukkan ke dalam air dingin setelah berada di gurun pasir selama beberapa jam.

Wasit bersiap untuk melakukan jump ball di tengah-tengah. Sementara, masing-masing center dari kedua tim berdiri di di tengah lingkaran yang paling dekat dengan ring masing-masing. Dalam posisi ini, Putra yang akan berusaha merebut bola yang jatuh. Peluit dibunyikan wasit, bola diterbangkan ke atas, dan sorak sorai penonton mulai bergema.

Pertandingan dimulai!

***

Gimana guys? wkwkwk

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang