MOMEN 22 - TERIMA ATAU TIDAK?

137 23 9
                                    

Kelana mengelap leher yang berkeringat menggunakan tissue. Baru kali ini, dia dicegat beberapa penggemar saat melangkah menuju toko Kertarani. Tentu saja, ini menjadi pengalaman baru sekaligus menyebalkan. Kelana mulai tahu rasanya jadi orang terkenal. Privasinya terganggu.

"Naha artis teh malah ke sini?" Lelaki yang khas dengan kemeja gombrangnya itu bertanya dibarengi senyum lebar. "Artis mah istirahat aja di rumah. Nanti malem harus ngisi acara lagi kan?"

"Ih, Mamang. Berlebihan banget!" Kelana menyalami Dadang. "Mama ke mana?"

"Lagi salat Ashar di belakang," jawab Dadang.

"Oh, okey ...." Kelana memutar mata ke segala arah. Toko ini jadi lebih rapi dan tertata. Kelana juga melihat beberapa model baju yang sudah mulai hilang dan diganti dengan model-model baru. "Gimana toko, Mang? Rame?"

"Alhamdulillah." Dadang mengangguk-angguk. "Hari ini kejual lebih dari seratus potong pakaian. Teu nyangka Mamang mah. Mamang itu tukang ngambil rumput di kebun. Eh, bisa jualan juga ternyata."

Kelana terkekeh mendengar ocehan itu. Keluarga Kelana sebenarnya keluarga besar. Di Bandung, mama Kelana memiliki dua kakak dan tiga adik. Dadang sebagai adik dengan jarak umur terdekat dengan Ami, termasuk yang paling akrab. Maka ketika butuh bantuan tenaga, Ami percaya untuk menghubungi Dadang.

"Makasih ya, Mang," ucap Kelana. "Mamang baik banget ke Mama. Padahal kami berdua udah lama nggak pulang ke Bandung."

Ucapan Kelana membuat lelaki berumur 35 tahunan itu menghentikan aktivitasnya. "Lana, si Teteh dan kamu itu keluarga Mamang. Nggak mungkin Mamang biarin kalian gitu aja. Lagian, siapa sih yang nggak mau ketemu sama keponakan Mamang yang jadi artis? Mamang seneng pindah ke Jakarta dan ketemu kamu."

Ucapan itu seperti magnet yang mampu menggerakkan tangan Kelana untuk merengkuh Dadang. Rengkuhan itu terasa begitu hangat. Sebagai anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, Kelana merasa bersyukur ada sosok lelaki yang mungkin bisa sedikit mengobati kekosongan itu.

Keharuan di tengah-tengah gedung yang sebenarnya ramai oleh lalu lalang orang-orang itu terbuyarkan oleh kedatangan Ami dari ruang belakang. "Eh, anak Mama udah pulang."

"Mama udah makan kan? Udah minum obat juga kan? Nggak ada yang sakit?"

Pertanyaan itu disambut tawa Ami. "Ya ampun, Lana. Kamu kayak wartawan aja."

"Lana serius!"

"Mama udah makan dan minum obat. Sejauh ini, nggak ada yang dikhawatirkan. Tanyain aja ke Mamang kamu. Lagian, dari tadi Mama cuma duduk-duduk aja."

"Bener, Mang?" Kelana melirik Dadang.

"Iya, Lana. Yeuh keureut ceuli Mamang kalau bohong!" Dadang berbicara sambil menyentuh telinga. Keureut ceuli berarti 'potong telinga' yang sudah dijadikan kebiasaan orang Sunda kalau bersumpah.

"Serem amat harus potong telinga segala, Mang."

Ami dan Dadang tertawa keras mendapati keheranan Kelana. Sebagai kakak adik yang berasal dari sunda, pengungkapan sumpah seperti itu sudah biasa di dengar di beberapa kalangan Sunda.

"Ma, Lana ditawari masuk cheerleaders di sekolah," ungkap Kelana. "Ambil nggak ya?"

"Cirlider teh apaan?" Dadang menyambung.

"Cheerleaders, Mang." Kelana membenarkan. "Cheerleaders itu pemandu sorak untuk kegiatan pertandingan basket. Tapi di balik itu, mereka juga ada latihan dance-nya. Selain jadi pemandu sorak, cheerleaders sering dikirim ke acara lomba dance."

"Wih, bagus dong." Ami terlihat bangga. "Kamu kan suka joget-joget. Ikut saja. Lagian, dari dulu kamu selalu fokus ke Mama sama toko. Sekarang, kamu nggak punya alasan lagi buat nolak aktif di sekolah. Di toko kan sudah ada Dadang."

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang